Resensi Buku Peta Harta Karun; Menjadi Penulis Kaya Raya

Rabu, 14 Oktober 2009

Menjadi kaya raya dengan menulis? Apa bisa? Mungkin itu pertanyaan pertama yang muncul di benak anda begitu membaca judul buku ini. Sah-sah saja anda bertanya demikian. Karena, sejauh ini profesi sebagai penulis belum dianggap sebuah profesi yang menjanjikan. Menulis, bagi sebagian besar orang, belum masuk kategori ‘ladang uang’ yang menggiurkan seperti profesi lainnya, semisal pengacara, dokter, konsultan, dan sejumlah profesi bergengsi lainnya.

Namun, melalui buku ini sang penulis Toha Nasrudin, S.Ag.—yang dikenal dengan nama pena Abu Al-Ghifari— berhasil mematahkan anggapan bahwa menulis tidak bisa membuat seseorang menjadi kaya raya. Apa pasal? Dalam uraiannya, Toha Nasrudin mengungkapkan pengalamannya menjadi seorang penulis, yang terbukti bisa kaya raya.

Bagi Toha Nasrudin, menulis, apalagi di tengah era informasi sekarang ini, membuka peluang besar bagi seseorang untuk menjadi kaya raya. Karena, setiap orang butuh informasi. Dan, salah satu media informasi yang ‘tahan lama’ adalah dalam bentuk tulisan. Sejumlah media cetak selalu menanti tulisan dari pembaca untuk mengisi pelbagai rubrik. Demikian halnya dengan puluhan, bahkan mungkin ratusan penerbit di tanah air, senantiasa menunggu kehadiran penulis-penulis baru yang menggugah dan mencerahkan. Di sinilah peluang bagi kita untuk menulis terbentang luas.

Tentu, tulisan yang dimuat di media cetak akan mendapat honor. Begitu juga dengan penulis yang bukunya diterbitkan, ia akan menerima royalti. Dan, peluang menjadi kaya raya pun terbuka lebar.

Toha Nasrudin memberikan resep cespleng yang telah terbukti ampuh—seperti yang telah dialami dan dirasakannya sendiri— agar penulis bisa menjadi kaya raya.

Berikut beberapa poin yang menurut Toha Nasrudin harus dipenuhi agar seorang penulis bisa menjadi kaya raya: Pertama, menjadi penulis yang beda bahkan ‘gila’. Kedua, menjadi penulis buku best seller murni. Ketiga, membangun selfpublishing yang prestisius, Keempat, menularkan ide sukses kepada generasi muda. Kelima, menabur uang dalam investasi aman. Keenam, membersihkan kekayaan dari hak orang lain. Dan ketujuh, membagi keuntungan kepada keluarga besar. (hlm. 80-81)

Ketujuh poin di atas, menurut Toha Nasrudin, jika benar-benar dijalankan dengan sepenuh hati oleh seorang penulis, maka pintu menuju kaya raya, yang menurut istilah Toha Nasrudin pintu ‘harta karun’ pun terbuka lebar.

Buku ini layaknya autobiografi penulis yang telah malang melintang di dunia kepenulisan. Segala suka duka, pahit getir menulis telah ia alami. Dari penolakan demi penolakan berbagai media atas tulisannya, sikap acuh penerbit atas proposal buku yang diajukannya, sampai akhirnya ia sukses menjadi penulis buku best seller dan memiliki penerbitan buku sendiri.

Dalam buku setebal 196 halaman ini ada dua tema bahasan utama, yakni pertama, bagaimana menjadi penulis profesional yang selalu dinanti kehadiran karya-karyanya, baik oleh media cetak maupun penerbit, dan kedua, bagaimana mendirikan sebuah penerbitan sendiri (selfpublishing) yang prestisius.

Buku ini ditulis dengan tujuan memotivasi siapa saja yang ingin mendapatkan penghasilan jutaan bahkan milyaran rupiah melalui bisnis tulisan. Ini fakta, bukan isapan jempol belaka. Sebab, penulis buku ini telah membuktikannya, dan sukses!

Salah satu kekurangan dari buku ini adalah terdapat salah ketik di sana-sini yang cukup mengganggu. Namun demikian, saya tetap merekomendasikan kepada siapa saja, baik penulis profesional, penulis pemula, atau peminat bisnis buku untuk memiliki buku ‘langka’ ini.

Sayang jika kesempatan mendapat penghasilan ratusan juta, bahkan milyaran rupiah anda lewatkan, sehingga peluang menjadi kaya raya pun terbuang sia-sia. Saya yakin, anda tentu tidak ingin hanya sekedar melihat orang lain sukses dan berkantong tebal, sementara anda tidak menjadi apa-apa. So, tunggu apa lagi, mulailah menulis dari sekarang! Dan siap-siap menjadi kaya raya.

Read more...

Bocah Cilik di Jalan Buku

Sekarang ini aku sering berpikir, usaha apa ya yang bisa dikerjakan anak 9 tahun? Aku menulis, tapi buku-ku belum banyak. Aku sering diundang isi acara. Tapi kebanyakan untuk orang tidak punya. Jadi aku gratiskan.

Nah bagusnya aku usaha. Aku ingin bisa membantu teman-teman kecilku yang miskin. Aku baca di negeri ini sudah ada yang meninggal kelaparan...

Usaha apa yang bisa dilakukan anak usia 9 tahun?

Sebenarnya aku ada ide juga. Aku mau jualan roti! Aku sudah dapat namanya: Bread Gila! (maksudnya enaknya gila banget gitu loh!). Pokoknya rasa rotinya berbeda deh dari yang sudah ada. Aku bisa jualan di rumah dan di sekolah. Hmmm ini memang usaha kecil. Uangnya mungkin sedikit. Tapi kalau banyak yang beli, siapa tahu nanti aku bisa punya pabrik roti ya? Terus bisa selalu membantu anak tak punya..." (sebuah posting berjudul "Usaha Apa yang Bisa Dilakukan Anak Usia 9 Tahun" di blog Taman Hati Abdurahman Faiz (masfaiz.multiply.com)

Abdurahman Faiz adalah sebuah anomali. Serupa kalimat yang ditulis TS Elliot dalam satu puisinya, "dia adalah titik diam di dunia yang tidak berhenti bergerak." Titik yang menarik perhatian. Di usia 8 tahun ia sudah menelurkan buku kumpulan puisi berjudul Untuk Bunda dan Dunia (DAR Mizan, Januari 2004) dengan kata pengantar dari Taufik Ismail. Buku tersebut meraih Anugerah Pena 2005 serta Buku Terpuji Adikarya IKAPI 2005.

Buku keduanya terbit di tahun yang sama dengan buku pertama. Guru Matahari, juga diterbitkan DAR Mizan, bahkan masuk dalam daftar nomine Khatulistiwa Literary Award 2005. Setelah itu berturut-turut Aku Ini Puisi Cinta, kumpulan esai Permen-Permen Cinta Untukmu, dan yang terbaru Nadya: Kisah dari Negeri yang Menggigil yang diterbitkan Lingkar Pena Publishing House, Juli 2007.

Keajaiban yang dimiliki Faiz -kalau menerbitkan buku di usia 8 tahun bisa disebut ajaib-- itu tidak lepas dari kerja keras ayah dan ibunya, pasangan wartawan Tomi Satryatomo dan cerpenis Helvy Tiana Rosa. Helvy, yang dikenal sebagai penulis muda berbakat, sudah mengamati bakat putra sulungnya yang gemar merajut kata-kata menjadi kalimat indah sejak dini.

Di usia tiga tahun, ia misalnya sudah bisa melontarkan kalimat puitis,"Bunda, aku mencintai Bunda seperti aku mencintai surga." Faiz juga punya rasa ingin tahu yang sangat besar, yang memndorongnya untuk mengetahui hal-hal yang baru.

Sejak bisa membaca dan menulis di usia 5 tahun, kemampuan Faiz merangkai kata mengalir deras. "Kalimat yang dipilihnya sangat puitis dan mengharukan, tapi tidak cengeng," kata sang ibu, yang dikenal sebagai sosok di balik kesuksesan komunitas penulis Forum Lingkar Pena.

Sadar anaknya lihai meronce kata, Helvy menawari Faiz untuk ikut beragam perlombaan menulis. Faiz memenangi banyak di antaranya. Titik awal menuju dunia menulis adalah ketika siswa SDIF Al Fikri Depok ini meraih Juara I pada Lomba Menulis Surat untuk Presiden tingkat nasional yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta pada 2003. Saat itu ia baru duduk di kelas I SD. Ketika duduk di kelas II SD, ia juga menjuarai Lomba Cipta Puisi Tingkat SD seluruh Indonesia yang diadakan Pusat Bahasa Depdiknas pada 2004.

Kehebatan Faiz ini terendus juga akhirnya oleh penerbit Mizan. Divisi Anak dan Remaja yang saat itu tengah gencar-gencarnya mencari naskah lokal kemudian meminang puisi-puisi Faiz. Terbitlah kemudian kumpulan puisi Untuk Bunda dan Dunia pada 2004 di bawah bendera seri Kecil-Kecil Punya Karya.

Menurut Dadan Ramadhan, Editor Anak dan Penanggung Jawab buku Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK) DAR Mizan, penerbitan buku karya anak-anak ini diawali renungan bahwa selama ini belum ada buku karya anak.

Sebelum Faiz, seorang bocah lain sebenarnya sudah lebih dulu berkibar di bawah bendera KKPK. Sri Izzati namanya. Novelnya berjudul Kado Buat Ummi diluncurkan pada 2003 saat ia baru berusia 8 tahun. Gadis kecil kelahiran Bandung, 18 April 1995, ini sudah mulai menulis buku sejak kelas II SD. Izzati bahkan sudah meluncurkan novel keduanya yang berjudul Powerful Girls.

Respon pasar terhadap seri Kecil-Kecil Punya Karya ternyata cukup bagus. Terbukti dari membanjirnya pengunjung cilik dan para orangtua pada setiap peluncuran buku. Faiz dan Izzati kemudian menjadi sosok idola baru di tengah keringnya ladang buku anak lokal.

Sejak itulah bermunculan penulis-penulis cilik lain yang menelurkan buku mereka. Ada Qurota Aini, bocah yang di usia 7 tahun menerbitkan buku Nasi untuk Kakek. Buku Aini kemudian meraih penghargaan Museum Rekor Indonesia sebagai penulis termuda. Buku keduanya Asyiknya Outbond terbit setahun setelah itu.

Berturut-turut setelah itu, DAR Mizan mengeluarkan sederet buku di bawah bendera seri ini. Putri Salsa, anak penulis best-seller Asma Nadia -yang tidak lain adik kandung Helvy-- ikut digaet DAR Mizan. Bukunya My Candy berjejer bersama karya sejumlah penulis cilik lainnya. Di dalam daftar itu, ada pula Beautiful Days karya Bella, 6, putri penulis dan pendiri komunitas budaya Rumah Dunia, Gola Gong.

Menurut Pangestuningsih dari Mizan, buku-buku yang bernaung di bawah bendera KKPK ini terbukti mampu mendongkrak penjualan buku anak. Buku karya Bella, yang terbit tahun silam, berhasil terjual hingga 15.000 kopi. Tidak heran jika CEO Mizan Haidar Bagir berseloroh, jika dulu penulis yang harus berterima kasih dan berutang budi karena naskahnya bersedia diterbitkan, kini penerbitlah yang harus bersyukur karena bisa menerbitkan buku penulis-penulis cilik sukses ini.

Sukses Mizan menerbitkan karya bocah cilik ini membuat para penerbit lainnya menitikkan air liur. Forum Lingkar Pena, misalnya, kini menerbitkan kumpulan puisi terbaru Faiz, Nadya: Kisah Dari Negeri yang Menggigil, tahun silam.

Apa kelebihan para bocah cilik ini sehingga mereka mampu menelurkan buku di usia yang demikian belia? Riris T. Sarumpaet, profesor di bidang sastra anak mengatakan karya Faiz dan teman-teman lainnya sarat dengan kesederhanaan, polos, dan jernih saat memotret persoalan di sekitarnya. Cara memandang persoalan, terutama tentang anak-anak miskin dan menderita, jauh dari klise dan sangat metaforis. Mereka mampu menggambarkan apa yang dirasakan anak seusianya, tanpa harus sok dewasa atau menggurui. Mungkin itu yang menjadi daya tarik bocah-bocah kecil ini untuk membaca buku karya anak seumur mereka.

Kepiawaian anak-anak dalam bertutur ini pula yang dipuji Hilman Hariwijaya, penulis serial remaja Lupus, yang meroket pada era 1980-an. "Aku yang dulu bangga sudah nulis sejak SMP, jadi nggak ada apa-apanya dibanding Caca," katanya memuji Putri Salsa.

oktamandjaya wiguna/reza m/angela

Read more...

Suara Merdeka: Writepreneurship, Menjadi Kaya dari Menulis

YOGYAKARTA - Bisakah kaya dari menjadi penulis? Inilah pertanyaan yang dibedah dalam seminar nasional “Writerpreneurship: Menjadi Penulis Best Seller” yang digelar oleh Sekolah Penulis Yogya (SPY) di Gedung Tiga Serangkai, Condong Catur Yogyakarta, Sabtu lalu (24/10).

Para pembicara M Fauzil Adhim (penulis buku best seller Kupinang Engkau dengan Hamdalah), Jonru (pemilik situs penulislepas.com), dan Siswanto (Penerbit Tiga Serangkai Solo) mampu membuat peserta menjadi terbuka wawasannya akan begitu pentingnya menulis dan dari sisi ekonomi ternyata juga cukup menjanjikan.

Menurut Fauzil Adhim, menulis dapat menjadi profesi yang memberikan standar kesejahteraan lebih. Dengan catatan, harus total dan profesional. Dalam artian, jika seseorang bisa menulis sesuatu yang penting dan bermanfaat serta dikemas dengan bahasa cair, renyah, mudah diterima masyarakat luas maka peluang untuk mendapatkan royalti besar bukanlah hal yang tak mungkin.

“Sudah banyak contoh penulis yang kaya dan sejahtera karena tulisan-tulisannya. Habiburrahman Elshirazy misalnya, dari novel Ayat-Ayat Cinta, mendapatkan royalti lebih dari Rp 1,2 miliar. Emha Ainun Nadjib, buku-bukunya laris manis bak kacang goreng sehingga royaltinya pun cukup lumayan dan banyak penulis lainnya seperti Asma Nadia, Helvy Tiana Rossa, Joni Ariadinata,” paparnya.

Dia sendiri yang menulis novel Kupinang Engkau dengan Hamdalah, sudah cetak ulang ke-26 dengan sekali cetak minimal 10.000 eksemplar. Bayangkan, harga buku Rp 20.000 sedangkan royaltinya 10%, tinggal menghitung saja totalnya. Dengan menulis dia dapat mencukupi kebutuhan hidup dan menabung.

Persyaratan

Di depan peserta seminar Fauzil mengatakan, untuk menjadi penulis buku yang berhasil dibutuhkan sejumlah prasyarat antara lain fokus atau setia pada satu bidang kajian karena itu menyangkut personal branding atau kepakaran dalam satu masalah. Selanjutnya, menulis sesuatu yang penting dalam buku sehingga dibutuhkan dan dijadikan rujukan banyak orang.

“Jangan sampai hanya menjadi buku sampah yang tidak memberikan makna apa pun kepada pembaca. Buku yang isinya penting dan kajiannya fokus harus dikemas dalam bahasa yang renyah serta kemasan menjual. Kalau semua persyaratan itu terpenuhi maka tak sulit untuk menjadikan buku kita marketable,” tandasnya.

Siswanto dari Penerbit Tiga Serangkai menambahkan, ada dua sistem yang selama ini dipakai untuk memberi penghargaan kepada para penulisnya.

Pertama, dengan sistem royalti, honorarium dibayarkan sesuai jumlah buku yang terjual per tiga atau enam bulan. Berikutnya sistem beli putus.

Sejauh ini pihaknya masih terus mencari naskah-naskah dari penulis luar yang bersifat buku teks, panduan, agama, dan aneka tema lainnya.

Yang mengirim naskah banyak, namun yang isinya benar-benar berkualitas masih sedikit. Karena itu, peluang menjadi penulis masih sangat terbuka. (D19-70)

Sumber: SuaraMerdeka.com

Read more...

Faktor-faktor yang Menggairahkan Menulis (2)

Selasa, 13 Oktober 2009

2. Bagian dari Proses Menyembuhkan
Inilah pengakuan Hernowo, penulis “Mengikat Makna” dan “Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza”, yang banyak mendapat tempat di hati pembaca itu. “Menulis bagi saya tidak sekadar berhubungan dengan tinta dan kertas. Menulis adalah proses ‘menjadi’ dan ‘berkembang’. Lewat menulislah kadang saya mampu memecahkan beberapa persoalan yang ‘menekan diri saya’. Simak lagi pernyataannya, “menulis bagi saya, merupakan kegiatan yang ‘ringan’. Ini lantaran menulis saya persepsikan sebagai kegiatan yang menyembuhkan.”

Usai membaca ungkapan tersebut, saya segera ingat bahwa, manusia yang paling gampang ruwed, capek, bosan dan cepat jenuh. Apa lagi bila melihat hal-hal yang dianggap aneh. Manusia cenderung tidak mampu menyimpan apa-apa yang dialaminya. Sudah menjadi sifat manusia ingin segera menumpahkan yang dirasakannya itu.
Memori saya pun tertuju pada sebuah cerita, yang ditulis oleh KH. Abdurrahman Arrosi tentang raja bertanduk dan tukang kayu (Rosda Karya).

Seorang tukang kayu memergoki sang raja. Heran bin heran si tukang kayu, karena kepala sang raja ternyata bertanduk. Begitu pun dengan raja yang waktu itu membuka mahkotanya. Ia segera tahu bahwa, aibnya sudah diketahui seorang rakyatnya. Raja berpesan agar tukang kayu tidak menceritakan kejadian yang baru saja dilihatnya. Tukang kayu berjanji tidak akan pernah cerita kepada siapa pun.

Benar, tukang kayu tidak pernah bercerita.Tetapi ia tidak tahan lebih lama menyimpan keganjilan kepala raja. Akhirnya ia berteriak seorang diri di hutan, “raja kita bertanduk”. Dalam waktu singkat, seluruh penduduk kerajaan tahu, bahwa raja mereka bertanduk. Ternyata, saat tukang kayu berteriak, “raja kita bertanduk”, ada burung beo yang mendengarkan. Lalu burung itu terbang sambil menirukan “raja kita bertanduk”.

Yang ingin saya sampaikan, sudah pasti kita mengalami masalah-masalah berat, yang bisa disepadankan dengan tukang kayu. Meski wilayah peristiwanya berbeda, tapi merupakan bagian dari proses menyembuhkan. Masalah berat menjadi lebih ringan. Sebab, sudah ditumpahkan ke dalam tulisan.

3. Honor
Pertama kali saya terima honor tulisan tahun 1993, dari tabloid Hikmah termuat di rubrik kecil bernama “Mereka Bicara”. Jumlahnya Rp. 7.500. Senang bukan bikinan. Waktu itu masih sekolah di kelas III Madrasah Aliyah Negeri.

Saya tidak perlu malu untuk menyebutkan, bahwa honor tulisan itu menggiurkan. Setidaknya untuk level pemula. Harus kita akui pula, banyak penulis yang tidak begitu mempersoalkan honor. Kelompok ini biasa disebut kaum idealis. Asal ide-ide sudah dibaca orang, cukuplah.

Saya pernah ngobrol dengan mantan seorang Pemimpin Redaksi sebuah majalah lokal di Bandung, ia mengabarkan, dari hasil nulis resensi saja adiknya sanggup menyelesaikan kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Menakjubkan.

Sepanjang tahun 1997-2002 ada beberapa tulisan saya yang dimuat. Honornya mulai Rp. 50.000-Rp. 200.000 per tulisan. Jika dibandingkan dengan honor di luar negeri, pasti honor penulis Indonsia tertinggal sangat jauh. Sewaktu ceramah di Yayasan “Jendela Seni” Pak Wilson Nadeak cerita, dengan hanya satu tulisan dimuat, di Eropa, para penulis bisa membiayai hidup selama sebulan. Selain dibayar mahal, sebuah tulisan dapat dipublikasikan ± sampai sepuluh media lewat biro jasa.

Saya berani memperkirakan, beberapa tahun ke depan honor penulis Indonsia kian membaik. Hal ini ditandai dengan munculnya banyak media massa, yang berarti apresiasi masyarakat terhadap tulisan makin bagus. Logikanya, nilai jual lebih tinggi lagi. Lahan bagi penulis melebar.

4. Shadaqah Ilmu
Budayawan Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) dalam “Tadarrus Budaya”-nya kurang-lebih mengatakan begini, seorang faqih bisa mendekati Allah dengan ibadah legal formalnya. Seorang seniman bisa mendekati Allah dengan karya seninya dan seorang sastrawan bisa mendekati Allah dengan karya sastranya.

Kalau kita panjang-lebar-luas-dalamkan, bisa lebih banyak lagi. Dan saya ingin mengatakan, seorang penulis bisa menularkan ilmunya lewat tulisan. Asal yang kita tulis untuk kemaslahatan.

Shadaqah ilmu lewat media tulis kenapa tidak? Bukankah menyebarkan ilmu sangat diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Meski satu ayat, shadaqah ilmu lewat tulisan sangat strategis dari segi efektivitas dan tabungan pahala untuk meraih ridha-Nya.

Renungngkan! Allah memberikan pahala bagi orang yang memberikan jalan (petunjuk) kebaikan sebagaimana orang yang diberikan petunjuk mengerjakan kebaikan. Semakin banyak ilmu yang kita sebar, maka tambah banyaklah kemanfaatan yang diperoleh pembaca.

5. Sebagai Warisan yang Membanggakan
“Gajah mati meninggalkan gading”. Pepatah usang ini menyampaikan pesan sosial yang sangat berharga. Gajah saja yang hewan menyisakan gading yang dapat dimanfaatkan oleh manusia.

Apa yang sanggup kita wariskan? Tanah, rumah, uang, mobil, tak ada salahnya. Tetapi tidak sedikit warisan yang demikian mengakibatkan permusuhan sesama saudara sekeluarga. Terkadang juga kurang mendidik.

Kondisinya sangat berbeda, jika saja yang kita wariskan adalah ilmu. Warisan dalam tulisan (buku) punya nilai yang sangat membanggakan.

Warisan tersebut dapat membantu anak-cucu dan generasi setelah kita, untuk mempertahankan sejumlah nilai luhur yang telah kita kerjakan, sekaligus sebagai bahan guna menggali potensi yang ada.

6. Menyadari Penuh bahwa Manusia itu Makhluk Penulis
Roesli Lahani Yunus meyakinkan kepada kita dengan sebuah kutipan dari Emerson, perihal manusia sebagai penulis. “Manusia pada hakikatnya adalah penulis. Apa yang ia lihat atau alami, ia jadikan pola. Ia percaya, apa yang dapat dipikir, akan dapat pula ditulis, lambat atau cepat. Dalam tiap pembicaraan, dalam tiap bencana, dalam tiap peristiwa, dalam tiap perjalanan, ia dapatkan bahan baru untuk tulisannya atau karangannya.”
Sealinea keyakinan di atas, kiranya dapatlah mengusir keragu-raguan para penulis pemula, yang biasanya bertanya semacam ini, “mampukah saya menulis?”

Bertolak dari potensi yang dimiliki manusia itu berbeda, baik perasaan, temuan, kehobian, penyikapan mengenai sesuatu, sekiranya diolah, maka menjadi tulisan yang beragam. Satu masalah yang muncul, cara penyelesaiannya dengan beberapa alternatif. Solusi alternatif yang kita miliki, merupakan bahasan tulisan yang bermutu tinggi karena memiliki keunikan tersendiri.

Kata lainnya, menulislah dari apa yang kita rasakan, harapkan dan renungkan. Bukan dari sesuatu yang berada di luar diri kita. Dari titik ini pulalah penulis produktif semisal Hernowo dan Abu Al-Ghifari lancar menulis. Setelah memulai dari diri sendiri, barulah mereka mencari data-data pelengkap agar tulisannya menjadi lebih bertenaga sekaligus dipercaya pembaca. Dan pada proses lebih lanjut, seorang penulis akan berkata, “menulis itu sebenarnya indah.”

7. Setiap Gaya Tulisan Ada Penggemarnya
Pembaca budiman, saya mengajak Anda untuk sedikit bermimpi. Tidak banyak. Andai sejudul tulisan kita sudah selesaikan. Andai sebuah naskah untuk ukuran buku telah kita rampungkan. Masihkah kita menyisakan pertanyaan semodel “apakah tulisan bikinan saya laku di pasaran?”

Ibarat makanan, punya pengemarnya masing-masing. Yang satu hobinya pecel lele, lainnya nasi goreng, sementara di tempat yang berbeda kita temukan penikmat nasi liwet lengkap dengan sambal dan ikan asinnya.
Betapa pun demikian kuat pengaruh penulis yang kita kagumi, mewarnai gaya tulisan kita, saya setuju dengan Mohamad Fauzil Adhim, penulis buku bernuasna “pernikahan” bahwa, selekasnya kita menemukan gaya tulisan sendiri. Insya Allah, gaya tulisan yang kita peragakan ada juga yang mengambil manfaatnya, alias Suka.

By Lilis Nihwan

Read more...

Faktor-faktor yang Menggairahkan Menulis (1)

Sepotong sajak, sebaris kata bijak, sepenggal cerita, sedikit keuntungan rupiah, sealinea biografi, secangkok lagu dangdut, begitu sering dapat membangkitkan gairah untuk segera beraksi. Dalam menulis dibutuhkan ketekunan. Para penulis senior biasanya membeberkan banyak keuntungan yang bisa diraih dari olah tulis dan menjadi penulis atau pengarang yang produktif.

Gairah menulis perlu dipompa terus. Proses kreatif tidak boleh berhenti. Karenanya, dibutuhkan kembali kehadiran perangkat-perangkat untuk penyemangat dalam menulis.

Sudah lama The Liang Gie memaparkan temuannya bahwa, ada enam nilai manfaat yang diperoleh para penulis (pengarang) yaitu, nilai kecerdasan, nilai kependidikan, nilai kejiwaan, nilai kemasyarakatan, nilai keuangan, dan nilai kefilsafatan.

Pembaca budiman, kalau mau, kita mampu menambah lebih panjang daftar manfaat menulis. Apa bisa? Seperti kata sebuah iklan, “bisa”. Asal giat berlatih, banyak membaca, bekerja lebih keras lagi. Dan lebih keras lagi.
Semakin kita dapat meraba keuntungan-keuntungan dalam menulis plus memahami sejumlah kesulitan, maka insya Allah gairah menulis akan terjaga, bahkan grafiknya tambah meningkat.

Berberapa upaya agar semangat mengolah tulisan makin bergairah.

1. Membaca Mahakarya Penulis atau Pengarang Dunia
”Di belakang tiap kata berdiri suatu dunia, tiap orang yang menggunakan kata harus menyadari bahwa ia menggoyang dunia”, demikian tulis Hernowo mengutip pernyataan Heinrich Boll.

Saya setuju. Betapa memang manusia sangat dipengaruhi oleh kata-kata yang didapatinya. Entah dengan membaca atau mendengar. Tentu saja kekuatan bacaan lebih ampuh karena bisa dipelajari berulang-ulang, walau dalam rentang waktu yang sangat jauh jaraknya, antara saat kata-kata itu ditulis dengan dibaca.

Perubahan besar sejarah dunia, ternyata banyak digerakkan oleh kekuatan bacaan. Kita tahu dalam sejarah Islam, hanya dalam waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari semenanjung Arabia yang dihuni oleh masyarakat jahiliyyah berubah total akhlaknya. Masyarakat yang gemar melecehkan kaum wanita, menjadi penyayang dan pelindungnya. Pedang yang biasanya digunakan untuk menyelesaikan masalah, diganti dengan solusi musyawarah. Sungguh pun perubahan terjadi terutama karena keteladanan dari Nabi Muhammad Saw.. tapi yang ingin saya tekankan adalah perubahan-perubahan besar itu dimulai dengan perintah “membaca” (Lihat QS. Al-‘Alaq [95]: 1-5).

Membaca dengan segala macam kandungan dan falsafahnya, telah sanggup merubah peradaban. Kenyataan sejarah di orde yang berbeda kembali membuktikan. Perubahan-perubahan dahsyat di pentas dunia dipelopori oleh bacaan-bacaan atau tulisan-tulisan.

Seorang penulis produktif yang juga muballigh, yakni KH. M. Isa Anshary (Allahu yarham), mengurai betapa hebatnya pengaruh tulisan (bacaan). Saya tulis ulang pernyataannya dari buku “Mujahid Dakwah” (Diponegoro, 1995).

“... Revolusi-revolusi besar di dunia, selalu didahului oleh jejak pena dari seorang pengarang. Pena pengarang mencetuskan suatu idea dan cita, menjadi bahan pemikiran pedoman berjuang. Revolusi Perancis bergerak di bawah cahaya pikiran dan cetusan pandangan yang dirintiskan oleh J.J. Rousseu dan Montesquieu. Revolusi Amerika dibimbing oleh ‘Declaration of Independence’ (Fatwa Kemerdekaan) yang sampai kini dijadikan pedoman besar oleh bangsa Amerika. Revolusi Rusia dan perjuangan kaum komunis di seluruh dunia dipimpin oleh ‘Comunistisch Manifest’, karya Marx dan Engels. Nazi Jerman bergerak di bawah petunjuk buku Mein Kampf buah tangan pimpinan mereka Hitler.

Revolusi Tiongkok berpedoman kepada San Min Chu I karangan Sun Yat Sen. Revolusi Indonsia didahului oleh pemikiran-pemikiran revolusioner dari Bung Karno, Hatta, Syahrir dan Tan Malaka. Pidato pembelaan Bung Karno di muka pengadilan kolonial di Bandung ‘Indonesia menggugat’ brosur revolusioner ‘Mencapai Indonesia Merdeka (MIM)’, pidato pembelaan Bung Hatta di muka pengadilan Den Haag yang berjudul ‘Indonesia Vrij’ dan buku kecilnya ‘Ke arah Indonesia Merdeka (KIM)’, tulisan-tulisan Syahrir dalam ‘Daulat Rakyat’ tentang taktik dan straegi perjuangan, buku-buku Tan Malaka yang diselundupkan dari luar negri, semua itu telah menjadi aspirasi dan inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan tanah air. Renaissance Alam Islamy, gerakan reformasi dan modernisasi Taimiyah, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Amir Syakib Arsalan dan Abdurahman Al-Kawakibi. Pembinaan negara Islam Pakistan didahului oleh buku-buku Mohammad Iqbal...”

Pembaca budiman, dengan membaca tulisan-tulisaan mahakarya penulis kelas dunia, kita akan mendapatkan semacam ruh kekuatan untuk melahirkan tulisan yang mengguncang dunia. Tentu saja ambil yang positifnya. Pastikan kita mendapatkan hikmah dari proses kreatif mereka. Untuk menuliskan pendapat dan pikiran saja, mereka banyak mengalami sederetan penderitaan.

By Lilis Nihwan

Read more...

7 Alasan Kenapa Sebuah Naskah Ditolak?

Siapa sih yang tidak sedih jika tulisan yang kita kirim ke media tak kunjung dimuat. Padahal seluruh kemampuan telah kita upayakan seoptimal mungkin. Biaya telah banyak keluar untuk perangko, kertas, ongkos angkot dan tidak sedikit waktu yang kita gunakan untuk menulis.

Manusiawi kalau sedih dan kecewa, tapi justru karena kita sebagai manusia mesti secepatnya kembali ke titik kesadaran dan tidak memanjakan kepusingan lama-lama bertengger di otak kepala. Bila pasrah total ketika sejumlah tulisan belum juga nongol di majalah, tabloid atau koran, KO-lah riwayat kita di dunia kepenulisan.
Memang dalam hal tulis menulis, karang mengarang bisa dihitung dengan beberapa jari penulis yang brilian dan ‘mujur’. Maksudnya, orang-orang yang begitu ngirim tulisan langsung dimuat. Sebut saja misalnya Gola Gong, Ali Muakhir dan si kecil Pipit Musawwa.

Rasanya tidak berlebihan saya menyebut mereka itu para penulis yang diberi anugerah khusus oleh Allah SWT. Kenapa? Paling tidak mereka sudah menulis dalam katagori usia dini. Selebihnya saya, Anda, dan pembaca sekalian harus bekerja jauh lebih keras dan berlipat lagi supaya dimuat. Insya Allah bisa.

Kita akan coba mengurai seputar naskah yang ditolak sambil mencari alternatif untuk menyiasatinya (membijakinya) agar tulisan lebih bagus dan kembali kita kirim ke media massa.

7 (Tujuh) Alasan Mengapa Naskah Ditolak


Pertama, naskah ketinggalan zaman dari segi sisi, alias tidak aktual. Redaktur sangat berselera pada hal-hal yang sifatnya baru, bahkan yang bernilai rekayasa. Bukan masalah basi.

Kedua,
momenya tidak sesuai atau tepat. Mengirim tulisan ke media tentang keutamaan Rhamdhan, sedang waktu mengirim pada bulan Shafar.

Ketiga, penyajian berbelit-belit. Saharusnya sistematis. Memiliki pemaparan yang menganut dan mengandung kebertahapan. Tidak loncat sana, loncat sini.

Keempat,
Tidak memakai tata bahasa yang berlaku. Kata lainnya belum selaras dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Meski bukan satu-satunya faktor.

Kelima, kalah bersaing dengan penulis lain yang lebih kompeten. Bisa jadi penulis yang sudah punya nama. Walau bukan jaminan orang tenar setingkat menteri tulisannya layak muat.

Keenam, jumlah halaman kebanyakan atau malah kurang. Misal, untuk rubrik “Cerpen” hanya menerima 5-6 halaman. Tetapi kita mengirim 8-10 atau 2-3 halaman. Jelas bikin bingung.

Ketujuh, dualisme judul. Kita membuat tulisan berjudul “Perang di Afganistan”, pada saat yang sama pantas juga dijuduli “ Perang di Palestina”. Judul demikian tidak mencerminkan isi.

By Lilis Nihwan

Read more...

Menulis Adalah Bakat?

Sering dijumpai pada kalangan para da’i, yang ingin terjun ke dunia tulis, perasaan sulit untuk memulai menulis. Katanya, mereka telah beberapa kali mencoba menulis, namun hasilnya tak pernah jadi. Sebagian yang lain, pernah mencoba dengan segenap kemampuan, dan setelah beberapa kali gagal, akhirnya jadi juga. Namun ketika dikirimkan ke media massa, ditunggu-tunggu tidak kunjung nampak di koran. Sampai kemudian ada kesimpulan, setelah tulisannya dikembalikan, ternyata tidak dimuat.

Alhasil, tidak sedikit diantara penulis pemula yang merasa kesulitan memasuki dunia tulis. Padahal jika disadari, sebenarnya hampir setiap orang telah terbiasa menulis. Sejak masa sekolah dasar hingga masa perkembangan seterusnya. Menulis ketika mencatat dan mengerjakan pekerjaan rumah, tugas-tugas, serta berkirim surat. Dengan demikian, pada dasarnya setiap orang, telah memiliki keterampilan menulis.
Oleh karena itu, semua orang yang bisa menulis telah memiliki potensi menjadi penulis. Hanya potensi itu memang perlu dikembangkan. Ketika sangat lancar menulis untuk catatan-catatan, kita juga mahir menulis untuk diary perjalanan hidup kita, semua itu memang baru kreativitas dan produktivitas menulis yang sajiannya diperuntukan bagi kalangan sangat terbatas. Penulisan dari dan catatan, untuk dibaca sendiri. Pekerjaan rumah dan tugas-tugas untuk dibaca guru atau dosen. Sementara surat-surat juga dibaca hanya untuk orang yang kita kirim.

Lalu saat kita mencoba menulis untuk media massa, keterampilan menulis yang dimiliki itu terasa bedanya. Ketika misalnya, kita kirim tulisan dengan gaya menulis surat, atau gaya mengerjakan tugas, ternyata tidak langsung dimuat.

Karena pengalaman demikian tidak jarang kemudian yang mengeluh,“Betapa sulitnya menulis”. Kemudian muncul pertanyaan, “Apakah menulis itu hanya untuk orang-orang yang berbakat?”.

Menjawab permasalahan tersebut, Abdul Hadi WM, menjelaskan bahwa untuk kemahiran menulis bakat sebenarnya hanya mempengaruhi 5%, keberuntungan 5%, sedangkan sisanya yang terbesar (90%) tergantung kepada kesungguhan dan kerja keras. Sehingga tidak mengherankan jika Wilson Nadeak mengatakan bahwa kemahiran menulis itu hanya bagi yang membiasakan diri.

Hal demikian cukup masuk akal, sebab jika ditanyakan tentang bakat, sebenarnya setiap orang yang telah bisa menulis pun pada dasarnya telah memiliki bakat. Hanya tinggal mengembangkan, dari tulisan yang biasanya hanya untuk dibaca sendiri atau dibaca dosen, kepada tulisan yang bisa, enak, penting dibaca oleh umum.

Dengan demikian, kesungguhan dan kerja keras yang dibutuhkan sebagaimana kata Wilson tadi, terkonsentrasi kepada, bagaimana kita menyiasati perubahan gaya menulis untuk konsumsi pribadi atau konsumsi kalangan terbatas, kepada konsumsi untuk dibaca umum. Hanya itulah sebenarnya titik berangkat persoalan kita. Tidak terlalu banyak.
By Aef Kusnawan

Read more...

Penulis Hebat Sekalipun Pernah Naskahnya Ditolak

Tidak ada gagal bagi orang yang ingin berprestasi. Sebagai muslim pantang untuk berputus asa. Salah-satu karunia terbesar dalam hidup kita adalah membangun sikap optimis. Bukankah Rasul Saw. mengatakan, bahwa amal (kreativitas) yang baik adalah yang dilakukan secara istiqamah, walaupun amal itu sedikit.

Ibarat menaiki tangga, sudah pasti kita tidak langsung sampai ke puncak. Tidak ada kehebatan apa pun kecuali menjaga kebiasaan baik dan mengembangkannya. Yakinlah kita sedang merangkak tangga demi tangga. “Man jadda Wa jadda – siapa-siapa yang sungguh-sungguh ia akan mendapatkan”, begitu sebuah keterangan dalam kitab Ta’lumul Muta’allim.

Gunawan Muhammad, Mahbub Djunaidi (Alm) adalah sosok penulis populer di negeri ini. Selidiki dan pelajarilah kepedihan mereka sehingga menjadi penulis handal. Bambang Trim Dirut Pusat Kajian Informasi Buku (Pikbuk), Bandung mengaku, selama tiga tahun kuliah di Editing Universitas Padjajaran tak satu pun tulisannya dimuat. Tentu saja sekarang penulis “Menggagas Buku” itu tulisannya tersebar di banyak media. Hernowo, General Manager Editorial Penerbit Mizan jujur mengatakan, sejudul penulisannya baru dimuat sebuah harian bergengsi setelah ratusan naskahnya ditolak. Roesli Lahani Yunus memperkirakan untuk penulis pemula rata-rata di atas 40 kali mengirim naskah baru diharapkan bisa dimuat.

Di posisi ini kita harus menyimak uraian Wilsaon Nadeak. Penulis kawakan pengasuh rubrik “Karang mengarang” HU Pikiran Rakyat. Alex Haley naskahnya ditolak sampai 200 kali belum juga dimuat. Di Francisco seorang penulis menerima 600 surat penolakkan. John Creasy pengarang Inggris menyimpan 774 naskah yang ditolak. (Pikiran Rakyat, 27 Juli 2002). Artinya, kegigihan sangat kita perlukan.

By Abu Al-Ghifari

Read more...

Gagal Menjadi Penulis Sukses, Kenapa?

Saya akan coba mengurai sejumlah penyebab kegagalan menjadi penulis. Dalam bidang apa pun kegagalan adalah jenis makhluk yang bikin tidak enak bagi yang menjalaninya. Kita perhatikan dan kenali 7 sebab kegagalan dalam proses olah tulis menulis.

1. Belajar Teori Saja
Aa Gym sering mengingatkan, “satu langkah bukti nyata, lebih baik daripada seribu teori”. Saya setuju dengan apa yang dikemukakan Aa Gym.

Prestasi apa yang dapat dihasilkan oleh generasi, yang cuma berhenti sampai tingkat teori saja. Dalam olah tulis menulis, betapa banyak jebolan perguruan tinggi, ditambah alumni kursus-kursus pelatihan menulis atau mengarang, tapi tidak pernah mampu menyelesaikan barang sejudul pun.

Maka tidak heran jika Abu Al-Ghifari sewaktu aktif di Ash-Shidiq Intelectual Forum, sebuah lembaga
pelatihan

jurnalistik yang dipimpinnya, menerima banyak keluhan dari sarjana S1. Keluhan mereka yaitu tidak bisa menulis.

Kata DR. Deddy Mulyana, di negeri semisal Amerika, adalah kenyataan aneh bila seorang dosen tidak bisa menulis. Dan apalagi bergelar S2 atau S3. Dengan semangat tinggi, Bambang Trim mengutip sebuah pernyataan dari pusat pendidikan AS, bahwa “semua ilmuwan adalah sama, sampai satu di antara mereka menulis buku.”

Saya sepakat dengan Abu Al-Ghifari, kesulitan menulis bagi kaum intelektual bukan terletak pada teori tulis menulis. Tetapi karena malas mempraktekkannya. Kesimpulannya, siapa pun yang hanya mempelajari teorinya saja, tidak akan pernah bisa menulis.

2. Ide Sebatas Ide
Boleh jadi ide sudah berjumpalitan di otak kepala. Mungkin baru saat ide ditemukan rasanya tiada duanya. Perkiraan ide belum ditulis oleh penulis lainnya. Terbayanglah di benak kita ide ini paling mutakhir bernilai jual tinggi.
Tetapi sayang, ide hanyalah bunga-bunga khayalan. Akhirnya, bunga-bunga ide lesu dimakan waktu. Dan terkejutlah saat membaca tulisan yang ide utamanya sama. Rugilah kalau ide sebatas ide.

3. Menulis yang Tidak Disukai
Bicara mengenai tingkat kelancaran sekaligus kemandegannya, antara komunikasi lisan dan tulisan terdapat kesamaan. Jalaluddin Rakhmat dalam “Retorika Modern” (Rosda Karya, 1992) menjelaskan, apa pun isi ceramah yang disampaikan ke khalayak akan menjadi menarik bila materi itu dikuasai.
Lalu timbul kesimpulan, ceramah yang disampaikan, amat tidak menarik, jika mengucapkan apa-apa yang tidak dikuasai.

Begitu pula dengan tulis menulis. Nulis apa saja kalau kita menguasai materinya pasti lancar meski tidak bebas hambatan. Sebaliknya, nulis apa pun sekiranya materi tidak dikuasai, niscaya menemui kemandegan atau kebuntuan.

Jangan cuma karena ingin gagah-gagahan, kita menulis bahasan yang sebenarnya kita tidak memahami. Contoh: kita hendak menulis tentang Pemilu (Pemilihan Umum). Sementara pengetahuan mengenai Pemilu tidak memadai bahkan masih terbilang buta. Maksudnya, jangan memaksakan diri.
Setiap penulis memiliki spesialisasi ilmu yang khas. Jangan terjebak pada arus gemuruh emosi sesaat. Ukurlah kemampuan diri.

4. Cepat Puas
Tidak sedikit penulis pemula yang tulisannya berhasil dimuat media massa. Tidak cuma lokal, bahkan ada yang menembus media berskala nasional.

Namun sangat disayangkan, mereka cepat sekali merasa puas dengan capaian seperti itu. Mereka terlena dengan satu, dua tulisan yang dimuat dibangga-banggakan di setiap waktu dan diedarkan ke setiap forum pertemuan. Tentu saja bangga itu boleh, tetapi bila dalam waktu yang cukup lama kemudian tidak lagi menulis, nanti akan lupa bagaimana caranya menulis. Akibatnya sulit lagi untuk menulis.

Cepat puas dalam konteks ini dapat menimbulkan kemacetan total. Sayang, padahal sudah terbukti mampu menulis.

5. Ingin Cepat Populer
Para penulis pemula utamanya punya kebiasaan buruk, yakni ingin cepat popular. Terkadang lupa bahwa ketenaran, kepopularan, keterkenalan memerlukan proses waktu yang panjang dan perjuangan sangat keras. Tidak cukup dalam waktu singkat sebab profesi menulis bukan pekerjaan instan.

Tidak adil jika kita menuntut diri dengan harapan sosial yang tak proporsional. Robert B. Downs penulis “Buku-buku yang Merubah Dunia” (PT. Pembangunan Djakarta, 1959) mengungkap, banyak para penulis yang menggerakkan sejarah menulis di usia paruh baya atau tua: 44-54 tahun. Dua di antaranya, Thomas Paine dan Adolf Hitler (lepas dari kejahatannya). Paine dinilai sebagai pelopor kemerdekaan Amerika dengan karyanya “Pikiran Sehat (Common Sense).” Sedangkan Hitler penulis “Perjuanganku (Mein Kampf)” begitu kuat mempengaruhi gerakan komunis.

Hikmah yang kita petik adalah meraih popularitas perlu waktu panjang. Penulis yang tidak tahan proses, jelas akan gagal.

6. Macet Terjebak Honor
Bagi penulis senior, apa lagi yang idealis, kegiatan menulis tidak lagi (terutama) untuk mencari honor. Buat mereka yang terpenting ide sudah tersebar. Memasarkan ide ke lebih banyak orang dan kalangan. Berbeda dengan penulis pemula, yang dicari adalah honor berupa uang. Kelompok kedua jelas lebih banyak jumlahnya, ketimbang kelompok pertama.

Di bulan Oktober 1996, dua tulisan saya dimuat sebuah harian lokal. Senang bukan bikinan. Selang seminggu, setelah pemuatan tulisan kedua, saya menghubungi bagian yang bertugas mengurusi honor. Waktu itu saya kecewa berat, karena katanya tidak ada honor untuk penulis luar. Sifatnya hanya menyumbang naskah. Petugas itu mohon maaf ditambah basa-basi sedikit. Saya pun segera tahu, dan sangat memaklumi koran lokal yang memuat tulisanku, sedang berjuang keras memperpanjang umurnya. Cerita yang sama dialami Toha Nasrudin, nama lahir Abu Al-Ghifari sewaktu saya berkunjung ke Mujahid Press. Ia menyatakan, “tulisan saya sudah 20 judul tidak dihonor oleh media yang sama, tapi bukan uang sebagai tujuan.”

Pembaca Budiman, sekiranya Abu Al-Ghifari berhenti menulis gara-gara tidak dihonor, pasti ia tidak seproduktif sekarang yang telah menulis puluhan buku itu. Jika pembaca mengalami hal demikian, kecewa boleh, tapi jangan dipelihara. Ambil positifnya saja. Dimuat pun sudah beruntung.

7. Membesar-besarkan Kelemahan Sendiri
Bicara kelemahan, siapa yang terlepas dari kelemahan. Semua punya. Jangan perbesar kekurangan. Apalagi kita umbar ke setiap orang. Bisa-bisa yang mendengarkan jadi pusing dan jengkel.
Biasanya kelemahan itu berupa: tidak ada waktu, kurang referen, tidak ada bakat menulis dan bukan keturunan penulis.

Begitu sering pengamat politik muda usia Eep Saefullah Fatah menulis kolom saat menyetir. Caranya, Eep ngomong soal politik, sedang istrinya mencatat yang dibicarakannya. Ada bekas menteri yang mengetik di atas kendaraan. Hernowo mengaku bukan keturunan penulis. Ketiga orang ini jelas memiliki kelemahan dalam mengolah tulisannya, namun mereka tetap produktif.

Pembaca budiman, semakin meyakini lemah dan memperbesar kelemahan dalam menulis, tambah dalamlah diri kita memasuki wilayah kegagalan menjadi penulis.

By Lilis Nihwan Samuranje

Read more...

Membuat Naskah Buku yang Berkualitas

Naskah buku yang berkualitas adalah dambaan setiap penerbit. Hampir dipastikan penerbit hanya akan menerbitkan naskah-naskah yang berkualitas. Naskah yang berkualitas tidak hanya memiliki bobot isi yang baik, tapi juga bidikan pasar yang marketable. Bobot isi yang baik tidak terletak pada tema yang diangkat. Tema tidak menentukan apakah sebuah buku—meminjam istilah Hernowo—“bergizi” atau tidak. Tema hanya menentukan selera.

Lalu, apa saja yang membuat naskah buku berkualitas ?
Tentu, di samping materi yang berbobot, paling tidak ada 2 hal yang patut diperhatikan menyangkut naskah yang berkualitas:

Pertama, bahasa buku. Sehebat apapun materi yang disajikan, tapi penataan bahasanya kacau—tidak memenuhi kaidah-kaidah reasoning (penalaran)—naskah buku tersebut akan menjadi tidak
menarik. Karenanya, bahasa perlu diolah sedemikian rupa agar ketika naskah dibaca, terasa enak, mengalir, mudah dicerna, dan mengasyikkan, serta merangsang nalar.

Untuk membuat sebuah bahasa yang mampu merangsang nalar, maka, 1) susunan kalimat dan gerombolannya harus logis. 2) seluruh kalimatnya diupayakan memiliki diksi (pilihan kata) yang indah dan menggairahkan. 3) penyajian keseluruhan bahasa memiliki koherensi (keterkaitan) dan komposisi (ketersusunan) yang selain harmonis juga menyimpulkan.

Kedua, mengemas “daya pikat”. Sebuah buku, dikatakan berkualitas, selain karena materinya oke, bahasanya tertata dengan baik, juga karena tampilan bukunya yang memikat. Untuk naskah buku, tak banyak yang bisa diperbuat oleh penulis untuk mengemas daya pikat. Pihak penerbit yang banyak berperan.

Tapi, membuat judul yang “menggigit”, satu dari banyak hal yang bisa dilakukan oleh penulis untuk mendongkrak kualitas naskah buku. Perhatikan buku-buku yang berhasil best seller, judul-judulnya menggigit bukan? Bahkan acapkali judulnya lebih “menggigit” ketimbang isi buku itu sendiri.

Dalam sebuah acara diskusi buku Seks In The Kost di Aula Fakultas Psikologi Unair Surabaya, Iip Wijayanto pernah diprotes dengan judul bukunya itu yang teramat provokatif. Isi buku itu dinilai beda jauh dengan judulnya. Karenanya Iip dituding hanya mengejar keuntungan.

Dari aspek judul, buku-buku Iip memang cukup kontroversial. Di antaranya, 97,05 Persen (hasil penelitian tentang virginitas mahasiswi Jogja), Seks In The Kost, Seks Kalangan Terpelajar, dan Kampus Fresh Chiken. Tapi kalau membaca isinya, buku-buku itu lebih kepada analisis seks menggunakan ilmu tasawuf.

Apa kata Iip? Iip mengaku sengaja memilih judul-judul yang kontroversial dan komersial. Bagi Iip, judul buku yang “heboh” itu adalah strategi saja. Karena, menurutnya, kalau judul bukunya mengandung unsur religius, maka pangsa pembacanya hanya kalangan tertentu. Judul-judul yang “heboh” merupakan strategi agar pesan dakwah sampai ke banyak kalangan.

Maka, tak heran bila buku-buku Iip dapat menembus angka penjualan yang lumayan spektakuler. Buku Seks In The Kost-nya Iip misalnya, terjual 20.000 eksemplar pada dua bulan pertama.

Terlepas dari benar-tidaknya apa yang dilakukan Iip, “kasus” judul-judul Iip yang kontroversial, memberi pelajaran kepada kita pentingnya membuat judul yang “menggigit”. ***

by Badiatul Muchlisin Asti

Read more...

Menyiasati Peluang Diterbitkan (3)

3. Mengenal Visi dan Missi Media Massa
“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat.” (QS. Fathir: 19).

Setiap surat kabar dan majalah mempunyai visi atau pandangan dan mempunyai arah kebijaksanaan atau misi tertentu yang berbeda. Warna tulisan yang diinginkan dari para penulis artikel, tentunya yang sesuai dengan visi dan misi yang diemban media cetak tersebut. Artinya, seorang harus fleksibel, mengetahui dengan jelas artikel seperti apa yang diinginkan suatu media. Majalah atau surat kabar yang mempunyai misi atau visi kesehatan, menginginkan artikel tentang kesehatan dan sudah tentu menolak artikel-artikel yang keluar dari visi dan misinya itu.

Surat kabar yang mempunyai visi atau misi khusus, seperti khusus kesehatan, ekonomi, olah raga, dan politik dengan sendirinya sudah menunjukan bahwa visi

dan misinya dalam bidang-bidang tersebut sehingga penulis tidak perlu menebak atau mengira-ngira lagi misi dan visi seperti apa yang diemban media tersebut.

Mengapa harus ada visi dan misi? Sebuah koran atau majalah didirikan dengan sebuah idealisme dan cita-cita. Idealisme dan cita-cita koran atau majalah tentu berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Konsekuensinya, masing-masing perusahaan surat kabar akan mempunyai sasaran pembaca sesuai dengan idealisme yang dibangunnya.

Sebagai contoh, ada sebuah koran yang mempunyai sasaran pembacanya adalah kelompok pengusaha, ekonom, dan merreka yang berkecimpung di sekitar dunia bisnis, misalnya harian Bisnis Indonesia (di Jakarta), Harian Neraca (di Jakarta), harian Suara Indonesia (di Surabaya). Ada pula sebuah koran yang diperuntukan bagi masyarakat secara umum dan jangkauan pembacanya bersifat nasional, sebagai contoh, Kompas, Republika, Suara karya, Pelita dan lain-lain.

Sebagian koran yang lain diterbitkan untuk memenuhi segmen pembaca yang bersifat lokal, atau terbatas satu daerah tertentu, misalnya harian Jayakarta untuk daerah DKI dan sekitarnya, harian Kedaulatan Rakyat untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, harian Pikiran Rakyat untuk wilayah jawa Barat dan masih banyak lagi.

Aneka ragam jenis dan sasaran sebuah koran menyebabkan pihak redaktur di sebuah koran mempunyai policy tersendiri untuk menampilkan tulisan-tulisan bagi para pembacanya. Maka lahirlah apa yang disebut visi dan misi pada masing-masing media massa. Namun kebanyakan surat kabar atau majalah tidak mengkhususkan dalam bidang tertentu sehingga sulit ditebak atau diperkirakan isinya. Dalam hal ini seorang penulis dituntut untuk jeli dalam melihat apa yang diemban surat kabar atau majalah tersebut. Dengan kata lain, seorang penulis harus cermat melihat, artikel seperti apa yang diinginkan media cetak tersebut. Biasanya permasalahan ini menjadi kendala bagi penulis pemula.

Jika diumpamakan sebuah koran adalah sebuah toko, maka jenis toko biasanya bermacam-macam. Ada toko besi, toko lain, toko kue dan sebagainya. Sebagaimana layaknya sebuah toko, pemilik toko biasanya membutuhkan dagangan untuk dijual kepada pembelinya. Sebuah toko besi tentu hanya akan menerima dagangan-dagangannya yang berkaitan dengan barang-barang yang berupa besi dan sejenisnya. Ia tidak akan menerima dagangannya berupa kain atau kue. Demikian halnya dengan media massa. Ia hanya akan menerima tulisan-tulisan yang sesuai dengan visi serta misi media yang diembannya.

Memang untuk mengetahui visi dari sebuah media massa bukanlah pekerjaan yang gampang . Diperlukan pengamatan yang ciukup dan mungkin akan memakan waktu lama. Akan tetapi dengan mengetahui masing-masing visi yang ada pada media massa akan sangat membantu seorang penulis untuk dapat memilih media mana yang sesuai dengan masalah-masalah yang ditulisnya dan media mana yang kurang sesuai.

Cara sederhana yang mungkin dapat dilakukan untuk mengetahui visi dan misi koran antara lain, pertama, mencari informasi pada para penulis yang sudah sering menulis di salah satu media. Kedua, mengamatio sendiri, misalnya dengan berlangganan satu koran kemudian dipelajari model-model tulisan yang ada di dalamnya. Ketiga, berdasarkan pengalaman. Di sini penulis terjun langsuing, dengan cara terus menerus menulis pada beberapa media yang diinginkan. Jika tulisan tidak dimuat atau biasanya kemudian dikembalikan, itu pertanda tulisan itu tidak sesuai dengan keinginan redaktur. Dan jika hal ini dilakukan terus-menerus, seorang penulis akan menjadi tahu jenis-jenis tulisan mana yang sesuai dengan koran dan mana yang tidak sesuai. Akan tetapi perlu diingat, sebuah tulisan yang tidak diomuat belum tentu tidak sesuai dengan visi sebuah koran, bisa jadi hal tersebut disebabkan oleh banyaknya penulis yang menulis pada satu persoalan yang dianggap sama. Sehingga dengan terpaksa tulisan kita yang dikalahkan. Atau barangkali ada sebab-sebab lain.

Diantara sejumlah masalah yang menjadi pertimbangan bagai redaktur sebuah koran untuk dimuatnya sebuah tulisan, antara lain, tema atau topik tulisan , gaya bahasa, keaktualan persoalan yang dibahas, kesesuaian isi atau materi tulisan dengan latar belakang keilmuan penulis, dan sebagainya. Dengan mengetahui kodel-model tulisan yang disukai atau menjadi visi berbagai macam koran , berarti memberi peluang lebih besar untuk dapat dimuatnya tulisan-tulisan yang kita buat. (Ahmad Bahar: 1996).

Dengan mengetahui visi dan misi suatu media, seorang penulis sudah bisa menghemat tenaga dan mengefisienkan waktu. Karena jika artikel salah kirim, bukan saja rugi waktu tapi juga rugi tenaga dan uang.

Untuk iu selayaknya sebelum artikel dibuat, seorang penulis harus pandai memprediksi, kemana artikel tersebut nantinya dikirim. Bahkan seorang penulis profesional bukan hanya sebatas mengetahui visi dan misi suatu media, tetapi gaya bahasa dan model judul suatu media sudah berada dalam pikirannya. Hal ini memang sulit untuk penulis pemula, namun jika rajin mengamati setiap media cetak dan terbiasa membuat artikel, lambat laun akan memahaminya.

4. Strategi Pengiriman Tulisan
Tidak jarang tulisan yang secara isi pantas dimuat, namun kemudian dikembalikan, karena tidak mungkin memuatnya pada waktu yang tepat berhubung terbatasnya ruang atau berbenturan dengan tulisan lain, yang dipandang redaksi lebih baik.

Untuk lebih memperbesar kemungkianan pemuatan tulisan kita di media massa, maka selain kita memperhatikan moment yang tepat, hendaknya kita juga tidak cuma membuat kemudian menunggu satu tulisan. Buatlah terus beberapa tulisan yang berbeda-beda, sebarkan ke berbagai media massa. Untuk pemilihan medianya sendiri, bagi pemula ada baiknya, yang skupnya lokal terlebih dulu, dengan bonaviditas memilih mulai yang paling rendah.

Ada beberapa keuntungan penulis pemula mengirimkan tulisannya kemedia lokal, atau media yang masih berkembang, diantaranya:
a. Saingan tidak terlalu banyak dan tidak terlalu berat;
b. Redaksi juga lebih banyak kesempatan untuk membantu mengkoreksi tulisan kita
c. Peluang pemuatan akan lebih besar. Sementara dengan dimuatnya tulisan kita, tentu akan menambah motivasi baru untuk lebih produktif lagi dan lebih berkualis lagi dalam menulis.

by Aef Kusnawan

Read more...

Menyiasati Peluang Diterbitkan (2)

2. Mengaktualkan Tulisan
Mengenai.aktualitas sendiri bisa dipahami dalam dua hal:

Pertama, tidak teragenda. Masalah aktual seperti ini yang berkaitan dengan kejadian yang ada di tengah-tengah masyarakat, seperti dengan terjadinya kasus bom, kasus narkoba, kekeringan, wabah penyakit, banjir besar, banyaknya demonstrasi, kenaikan harga BBM dan sebagainya.

Kedua, aktual teragenda. Aktualitas ini berkaitan dengan adanya hari-hari tertentu, seperti hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, Isra Mi’raj atau hari-hari Nasional dan dunia yang monumental.

Ketiga, menyimak tajuk rencana suatu media. Sebagaimana dimaklum bahwa tajuk rencana adalah tulisan opini yang isinya mengulas hal-hal aktual yang dibuat oleh pihak redaksi suatu media.

Apa yang ditulisnya merupakan ulasan terhadap fenomena yang menarik perhatian media itu. Oleh sebab itu, jika penulis menghendaki aktualitas dalam tulisannya, akan ia peroleh dengan memperhatikan apa yang tengah banyak disoroti oleh media yang akan dikirimi tulisan olehnya.

Jika semua itu diperhatikan, maka ia akan menjadi salah satu daya tarik bagi pihak redaksi untuk lebih menominasikan pemuatan tulisan yang memiliki relevasi dengan kondisi dan situasi yang sedang berkembang. Lebih lanjut tentang akutalitas teragenda dan yang tidak teragenda, berikut uraian tambahannya.

a . Menyiasati Aktualitas tidak Teragenda
Setiap saat ada peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat. Ada yang terkategori kejadian biasa-biasa saja, ada juga yang memerlukan penelaahan, sehingga layak untuk diangkat menjadi bahan tulisan. Persoalannya adalah bagaimana seorang penulis bisa mengetahui permasalahan aktual yang tidak teragenda ini? Ada beberapa langkah untuk itu.

1) Mengamati perkembangan fenomena kehidupan masyarakat secara terus-menerus, misalnya,, tentang kemiskinan masyarakat daerah pinggiran kota dalam kaitannya dengan pola migrasi masyarakat yang bersangkutan. Kemudian ia menyusunnya dalam suatu perencanaan (yang flesibel), baik topik maupun penulis artikelnya.

2) Mengikuti secara cermat perlkembangan symptoms (gejala-gejala) yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, munculnya berbagai kegiatan demonstrasi, pemogokan tenaga kerja, serta berbagai langkah yang dilakukan para da’i kontemporer. Lalu ia menyususnnya dalam suatu perencanaan (yang flesibel).

3) Mengikuti secara cermat perkemabnagn trend (kecenderungan) yang muncul dalam kehidupan masyarakat, misalnya, maraknya kegiatan dakwah kampus, play station, pmakaian internet, dan lain-lain. Lalu ia menyususnnya dalam suatu perencanaan yang fleksibel.

4) Mengikuti secara cermat, munculnya peristiwa-peristiwa monumental. Misalnya, pengumuman kenaikan harga BBM, kelahiran undang-undang baru, serta peristiwa lainnya yang menimbulkan berita tinggi. Lalu ia menyususnnya dalam suatu perencanaan yang fleksibel.

b. Menyiasati Aktualitas Teragenda
Ada sejumlah peristiwa aktual yang senantiasa teragenda. Keteragendaannya terjadi karena ia biasa hadir tiap tahun. Untuk itu sebaiknya penulis menyadari benar tentang hal ini, dengan melakukan beberapa hal.

1) Menyusun rencana topik artikel untuk peristiwa-periistiwa kalenderium tahunan, baik hari besar agama, hari peringatan nasional maupun internasional.

2) Menyusun rencana topik tulisan untuk moment-moment tersebut.
Untuk lebih jelasnya berikut ini, diketengahkan hari-hari yang merupakan agenda tahunan, khususnya hari-hari besar agama, nasional, dan beberapa hari internasional. Berikut uraiannya :

Tanggal Moment
1 Januari Hari Tahun Baru Masehi
15 Januari Hari Pertempuran Laut Aru
22 Pebruari Hari lahir Lord Baden Powell
9 Maret Hari Pramuka
10 Maret Hari Film Nasional
15 Maret Hari Nyepi Hindu
25 Maret Hari Raya Nyepi
6 April Hari Nelayan Nasional
7 Aril Hari Kesehatan Sedunia
9 April Hari Penerbangan Nasional
13 April Wafat Isa Al-Masih
21 April Hari Kartini
1 Mei Hari Buruh Internasional
Hari Kembalinya Irian ke RI
2 Mei Hari Pendidikan Nasional
8 Mei Hari PMI se-Dunia
7 Mei Hari Raya Waisak
15 Mei Hari Kebangkitan Nasional
21 Mei Hari Buku Nasional
24 Mei Kenaikan Isa Al-Masih
28 Mei Hari Waisak (Budha)
1 Juni Hari Lahirnya Pancasila
17 Juni Hari Kanak-kanak Nasional
21 Juni Hari Krida Pertanian
1 Juli Hari Bhayangkara
5 Juli Hari Berdirinya BI
12 Juli Hari Koperasi
22 Juli Hari Kejaksaan
10 Agustus Hari Veteran RI
14 Agustus Hari Pramuka
17 Agustus Hari Kemerdekaan RI
19 Agustus Hari Deplu
24 Agustus Hari Televisi RI
11 September Hari Radio
16 September Hari Sandang
17 September Hari Perhubungan
23 September Hari Bahari
27 September Hari Postel
28 September Hari Kereta Api
29 September Hari Sarjana
1 Oktober Hari Kesaktian Pancasila
5 Oktober Hari ABRI
24 Oktober Hari PBB
28 Oktober Hari Sumpah Pemuda
30 Oktober Hri Keuangan
31 Oktober Hari Tabungan Nasional
10 Nopember Hari Pahlawan
12 Nopember Hari Kesehatan Nasional
20 Nopember Hari Kanak-kanak se Dunia
10 Desember Hari HAM
20 Desember Hari Sosial
22 Desember Hari Ibu
25 Desember Hari Natal
1 Hijriyah Hari Tahun Baru Hiriyah
12 Rabiul Awwal Maulid Nabi Muhammad SAW
27 Rajab Hari Isra Mi’raj
1 Syawal Hari Idul Fitri
10 Zulhijah Hari Idul Qurban

3. Mengenal Visi dan Missi Media Massa
“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat.” (QS. Fathir: 19).

Setiap surat kabar dan majalah mempunyai visi atau pandangan dan mempunyai arah kebijaksanaan atau misi tertentu yang berbeda. Warna tulisan yang diinginkan dari para penulis artikel, tentunya yang sesuai dengan visi dan misi yang diemban media cetak tersebut. Artinya, seorang harus fleksibel, mengetahui dengan jelas artikel seperti apa yang diinginkan suatu media. Majalah atau surat kabar yang mempunyai misi atau visi kesehatan, menginginkan artikel tentang kesehatan dan sudah tentu menolak artikel-artikel yang keluar dari visi dan misinya itu.

Surat kabar yang mempunyai visi atau misi khusus, seperti khusus kesehatan, ekonomi, olah raga, dan politik dengan sendirinya sudah menunjukan bahwa visi dan misinya dalam bidang-bidang tersebut sehingga penulis tidak perlu menebak atau mengira-ngira lagi misi dan visi seperti apa yang diemban media tersebut.

Mengapa harus ada visi dan misi? Sebuah koran atau majalah didirikan dengan sebuah idealisme dan cita-cita. Idealisme dan cita-cita koran atau majalah tentu berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Konsekuensinya, masing-masing perusahaan surat kabar akan mempunyai sasaran pembaca sesuai dengan idealisme yang dibangunnya.

Sebagai contoh, ada sebuah koran yang mempunyai sasaran pembacanya adalah kelompok pengusaha, ekonom, dan merreka yang berkecimpung di sekitar dunia bisnis, misalnya harian Bisnis Indonesia (di Jakarta), Harian Neraca (di Jakarta), harian Suara Indonesia (di Surabaya). Ada pula sebuah koran yang diperuntukan bagi masyarakat secara umum dan jangkauan pembacanya bersifat nasional, sebagai contoh, Kompas, Republika, Suara karya, Pelita dan lain-lain.

Sebagian koran yang lain diterbitkan untuk memenuhi segmen pembaca yang bersifat lokal, atau terbatas satu daerah tertentu, misalnya harian Jayakarta untuk daerah DKI dan sekitarnya, harian Kedaulatan Rakyat untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, harian Pikiran Rakyat untuk wilayah jawa Barat dan masih banyak lagi.

Aneka ragam jenis dan sasaran sebuah koran menyebabkan pihak redaktur di sebuah koran mempunyai policy tersendiri untuk menampilkan tulisan-tulisan bagi para pembacanya. Maka lahirlah apa yang disebut visi dan misi pada masing-masing media massa. Namun kebanyakan surat kabar atau majalah tidak mengkhususkan dalam bidang tertentu sehingga sulit ditebak atau diperkirakan isinya. Dalam hal ini seorang penulis dituntut untuk jeli dalam melihat apa yang diemban surat kabar atau majalah tersebut. Dengan kata lain, seorang penulis harus cermat melihat, artikel seperti apa yang diinginkan media cetak tersebut. Biasanya permasalahan ini menjadi kendala bagi penulis pemula.

Jika diumpamakan sebuah koran adalah sebuah toko, maka jenis toko biasanya bermacam-macam. Ada toko besi, toko lain, toko kue dan sebagainya. Sebagaimana layaknya sebuah toko, pemilik toko biasanya membutuhkan dagangan untuk dijual kepada pembelinya. Sebuah toko besi tentu hanya akan menerima dagangan-dagangannya yang berkaitan dengan barang-barang yang berupa besi dan sejenisnya. Ia tidak akan menerima dagangannya berupa kain atau kue. Demikian halnya dengan media massa. Ia hanya akan menerima tulisan-tulisan yang sesuai dengan visi serta misi media yang diembannya.

Memang untuk mengetahui visi dari sebuah media massa bukanlah pekerjaan yang gampang . Diperlukan pengamatan yang ciukup dan mungkin akan memakan waktu lama. Akan tetapi dengan mengetahui masing-masing visi yang ada pada media massa akan sangat membantu seorang penulis untuk dapat memilih media mana yang sesuai dengan masalah-masalah yang ditulisnya dan media mana yang kurang sesuai.

Cara sederhana yang mungkin dapat dilakukan untuk mengetahui visi dan misi koran antara lain, pertama, mencari informasi pada para penulis yang sudah sering menulis di salah satu media. Kedua, mengamatio sendiri, misalnya dengan berlangganan satu koran kemudian dipelajari model-model tulisan yang ada di dalamnya. Ketiga, berdasarkan pengalaman. Di sini penulis terjun langsuing, dengan cara terus menerus menulis pada beberapa media yang diinginkan. Jika tulisan tidak dimuat atau biasanya kemudian dikembalikan, itu pertanda tulisan itu tidak sesuai dengan keinginan redaktur. Dan jika hal ini dilakukan terus-menerus, seorang penulis akan menjadi tahu jenis-jenis tulisan mana yang sesuai dengan koran dan mana yang tidak sesuai. Akan tetapi perlu diingat, sebuah tulisan yang tidak diomuat belum tentu tidak sesuai dengan visi sebuah koran, bisa jadi hal tersebut disebabkan oleh banyaknya penulis yang menulis pada satu persoalan yang dianggap sama. Sehingga dengan terpaksa tulisan kita yang dikalahkan. Atau barangkali ada sebab-sebab lain.

Diantara sejumlah masalah yang menjadi pertimbangan bagai redaktur sebuah koran untuk dimuatnya sebuah tulisan, antara lain, tema atau topik tulisan , gaya bahasa, keaktualan persoalan yang dibahas, kesesuaian isi atau materi tulisan dengan latar belakang keilmuan penulis, dan sebagainya. Dengan mengetahui kodel-model tulisan yang disukai atau menjadi visi berbagai macam koran , berarti memberi peluang lebih besar untuk dapat dimuatnya tulisan-tulisan yang kita buat. (Ahmad Bahar: 1996).

Dengan mengetahui visi dan misi suatu media, seorang penulis sudah bisa menghemat tenaga dan mengefisienkan waktu. Karena jika artikel salah kirim, bukan saja rugi waktu tapi juga rugi tenaga dan uang.

Untuk iu selayaknya sebelum artikel dibuat, seorang penulis harus pandai memprediksi, kemana artikel tersebut nantinya dikirim. Bahkan seorang penulis profesional bukan hanya sebatas mengetahui visi dan misi suatu media, tetapi gaya bahasa dan model judul suatu media sudah berada dalam pikirannya. Hal ini memang sulit untuk penulis pemula, namun jika rajin mengamati setiap media cetak dan terbiasa membuat artikel, lambat laun akan memahaminya.

4. Strategi Pengiriman Tulisan
Tidak jarang tulisan yang secara isi pantas dimuat, namun kemudian dikembalikan, karena tidak mungkin memuatnya pada waktu yang tepat berhubung terbatasnya ruang atau berbenturan dengan tulisan lain, yang dipandang redaksi lebih baik.

Untuk lebih memperbesar kemungkianan pemuatan tulisan kita di media massa, maka selain kita memperhatikan moment yang tepat, hendaknya kita juga tidak cuma membuat kemudian menunggu satu tulisan. Buatlah terus beberapa tulisan yang berbeda-beda, sebarkan ke berbagai media massa. Untuk pemilihan medianya sendiri, bagi pemula ada baiknya, yang skupnya lokal terlebih dulu, dengan bonaviditas memilih mulai yang paling rendah.

Ada beberapa keuntungan penulis pemula mengirimkan tulisannya kemedia lokal, atau media yang masih berkembang, diantaranya:
a. Saingan tidak terlalu banyak dan tidak terlalu berat;
b. Redaksi juga lebih banyak kesempatan untuk membantu mengkoreksi tulisan kita
c. Peluang pemuatan akan lebih besar. Sementara dengan dimuatnya tulisan kita, tentu akan menambah motivasi baru untuk lebih produktif lagi dan lebih berkualis lagi dalam menulis.

by Aef Kusnawan

Read more...

Menyiasati Peluang Diterbitkan (1)

Setiap penulis memiliki harapan, tulisan yang dikirimkannya dapat dimuat. Hal itu merupakan suatu kewajaran. Namun dalalam kenyataan, tidak jarang tulisan yang dikirim itu tidak dimuat atau dikembalikan. Banyak kemungkinan alasan mengapa suatu tulisan yang dikirim tidak dimuat. Diantara kemungkinan itu bisa jadi karena beberapa sebab.

1. Tulisan tidak memenuhi kriteria penulisan;
2. Tulisan sejenis, jumlahnya banyak, sehingga perlu bersaing dengan tulisan yang lebih baik;
3. Tidak aktual;
4. Tidak sesuai dengan visi-misi media.

Oleh karena itu, setiap media biasa mengadakan seleksi terhadap sejumlah tulisan yang masuk. Untuk membangun seleksi yang objektif, redaksi media cetak umumnya memiliki kriteria tentang tulisan yang layak

muat. Kriteria umum tersebut penting untuk disikapi oleh setiap penulis dakwah.

1. Memenuhi Kriteria Tulisan
Ada beberapa kriteria umum tulisan yang biasanya diterapkan diberbagai media cetak. Kriteria itu sebagai seleksi awal bagi layak tidaknya suatu pemuatan tulisan.

a. Kriteria umum
1) tulisan asli, bukan jiplakan/ saduran/ terjemahan, belum pernah dimuat dalam penerbitan lain, dan hanya ditulis/ dikirim khusus untuk penerbit itu.
2) mengandung unsur baru, baik data konkret, pandangan baru, saran-saran, dan atau opini.
3) Gagasan tulisan menyangkut kepentingan sebagain besar pembaca media.
4) Memiliki kelengkapan dan kedalaman fakta, yang diperlukan, ntuk mendukung ide pokok.
5) Memiliki akurasi fakta yang diperlukan.
6) Tidak memiliki, bagian pargraf, kalimat, atau kata, yang memungkinkan diperkarakan.
7) Memenuhi aspek-aspek yang menyangkut etika Jurnalistik dan tidak bernuansa “SARA”.
8) Berakibat baik bagi pendidikan publik.

b. Kriteria Teknis.
1) Struktur tulisan uraiannya telah terorganisir dengan baik.
2) Lead telah berfungsi secara akurat dalam membangkitkan orang untuk membaca.
3) Bahasa yang dipakai telah sesuai dengan kaidah pemakaian bahasa jurnalistik, terutama hematdan jelas.
4) Penembpatan dan formulasi topic sentence dalam suatu paragraf telah tepat.
5) “Jembatan” atau “kata penghubung” telah sesuai.
6) Tidak ada kata yang menimbulkan misleading.
7) Penggunaan EYD sudah tepat.
8) Penembatan, sesuatu yang detail dan yang tidak perlu detail diposisikan secara tepat.
9) Penempata fakta yang benar.
10) Penempata anak judul yang pas (jika diperlukan).
11) Cara penyajian tulisan opini tidak berkepanjangan tapi padat, singkat, mudah ditangkap, gaya enak dibaca. Panjang artikel 0pini maksimal 5,5 halaman kwarto, 5 halaman kwarto untuk resensi buku, kolom 4- 5 halaman dan 8 halaman untuk cerpen, Semuanya ditulis dengan ketikan 2 spasi, dengan tulisan yang jelas, rapi dan bersih, tanpa coretan maupun tip-ex.
12) Kalimat penutup, telah tepat, dan memberi kesan pada pembaca.

Jika suatu tulisan telah memenuhi kriteria itu, maka ada harapan untuk dimuat. Namun jika belum terpenuhi, sebaiknya kita menulis ulang, untuk memperbaiki hal-hal yang masih janggal. Akan tetapi masih ada lagi yang perlu diperhatikan yaitu bernilai aktual.

by Aef Kusnawan

Read more...

Bagaimana Seorang Editor Menilai Sebuah Naskah?

Editor atau redaktur adalah pembaca pertama naskah yang dikirimkan kepadanya. Ia membaca karya pengarang. Sebagai seorang pembaca, ia tidak hanya sekedar membaca, tetapi juga menilai dan mempertimbangkan apakah karangan ini pantas dan berguna bagi pembaca?

Pada hakikatnya naskah yang masuk mempunyai dua ciri: (1) naskah yang ditulis penulis amatir dan (2) naskah yang ditulis pengarang profesional. Kebanyakan naskah yang diterima editor manapun di atas bumi ini berasal dari penulis amatir ketimbang penulis profesional. Kaum amatir mungkin saja berprofesi guru, penatar, dan sebagainya, namun cara penulisannya masih "mentah" atau meniru-niru gaya penulis lain sehingga tidak orisinil. Editor yang terlatih sangat tangkas, mengenali tulisan semacam ini. Bahkan ada editor yang mengatakan bahwa ia menerima naskah dari kelompok amatir (90%) dan dari kelompok profesional (10%)

Penulis amatir umumnya miskin argumentasi dan kurang memperhatikan sistematika penulisan (apakah untuk mass media ataukah untuk bidang sendiri). Sulitnya, justru yang 10% itulah yang menjadi tumpuan harapan editor untuk memperoleh karangan yang baik dan memenuhi syarat dari segi isi dan bentuk.

Penerbit surat kabar atau majalah mempunyai cara sendiri untuk memproses naskah yang diterimanya. Setiap penerbit mempunyai "house-style" yang berlaku di penerbitnya. Naskah yang masuk ke sekretariat diteruskan kepada "pembaca" pertama dan kemudian diserahkan kepada editor yang bertanggung jawab pemuatannya (setelah diseleksi). Pengarang yang profesional berharap sesuatu dari karangannya, begitu juga editor yang profesional berharap sesuatu dari karangan yang diterbitkannya.

Nah, jelasnya, mengapa sebuah karangan dikembalikan?
a. Karangan tersebut tidak cocok dengan misi media bersangkutan atau terlalu bersifat menggurui.
b. Karangan tersebut mirip-mirip dengan karangan yang telah pernah dimuat.
c. Terlalu panjang untuk topik tertentu atau mungkin juga terlalu pendek.
d. Kalau menyangkut karangan kreatif, mungkin tulisan tersebut terlalu lemah dari segi karakter (tokoh), plot maupun atmosfer pada bagian-bagian tertentu karangan tersebut.
e. Terlalu sarat dengan teori yang mungkin melelahkan pembaca atau berbau propaganda yang tidak disenangi pembaca.
f. Tulisannya tidak rapi atau sukar dibaca.
Alangkah bijaksananya jika penulis belajar dari kesalahan itu dan berusaha untuk berbuat yang lebih baik lagi. Untuk itu jika naskah dikembalikan, maka ada beberapa hal yang harus Anda lakukan:
a. Arsipkan naskah itu (jangan dibuang).
b. Konsultasikan dengan penulis profesional tentang letak kekurangannya.
c. Perbaiki dan ketik lagi, kirim ke media lain.
Media yang telah bonafide, kadang menyertakan keterangan singkat tentang penyebab artikel Anda dikembalikan. Untuk itu Anda tinggal memperbaikinya dan mengirim ke media lain yang visinya sesuai untuk artikel itu. Namun keterangan singkat itu kadang membingungkan karena formatnya telah jadi dan redaksi kadang dengan seenaknya menilai artikel kita dengan format itu. Hal itu terjadi karena begitu banyak artikel yang dikirim penulis dan redaksi tidak ada waktu banyak untuk membaca seluruhnya, hanya artikel yang berkualitas yang akan diambil redaksi.

Menyikapi Artikel yang Tidak Dikembalikan
Semua penulis berharap artikelnya diterbitkan atau paling tidak dikembalikan jika tidak diterbitkan. Kenyataannya, jangankan diterbitkan, dikembalikan pun tidak. Mengantisipasi hal tersebut, penulis sebaiknya mengarsipkan dalam komputernya atau artikel itu difoto copy sebelum dikirim. Jika tidak diterbitkan dan redaksi tidak mengembalikannya, naskah Anda bisa diketik atau diprint lagi untuk dikirim ke media lain.

Berapa lamakah memastikan artikel itu tidak akan diterbitkan? Hal ini sangat variatif. Untuk surat kabar harian biasanya antara seminggu hingga dua minggu dari semenjak dikirim; untuk tabloid (mingguan), biasanya antara dua minggu hingga sebulan dari semenjak dikirim. Untuk media cetak bulanan seperti majalah, biasanya antara dua hingga empat bulan dari semenjak dikirim.Untuk itu jika dalam jangka waktu tersebut artilel Anda tidak juga diterbitkan, maka naskah Anda boleh diketik lagi atau diprint lagi dan kirim ke media cetak lain.

Jangka waktu yang kami sebutkan itu bukanlah hal baku, hal itu hanya menurut rata-rata saja dari pengalaman kami. Kadang ada artikel yang setelah satu tahun baru diterbitkan.

By Abu Al-Ghifari

Read more...

Jika Naskah Ditolak

Kembali kita kuatkan keyakinan naskah ditolak bukanlah akhir segalanya. Yang demikian itu hanyalah proses rute yang harus dilalui sebelum berhasil adalah kenyataan wajib yang mesti dialami. Lantas apa saja langkah-langkahnya?

Pertama, dokumentasikan naskah-naskah itu, jangan sampai dibuang. Belum tentu ide yang terkandung dalam tulisan tersebut bisa ketemu di lain waktu. Percayalah ide itu amat mahal. Untuk mendapatkan ide terkadang para penulis membayar mahal karena harus pergi ke tempat tertentu. Dari sudut falsafah, ide bagus tidak bisa dibandingkan dengan rupiah.

Kedua, memperbaiki naskah. Sering kali kita menganggap saat merampungkan naskah, terasa sudah sempurna. Tidak terdapat kekurangan. Seolah-olah berani diuji dengan rekan lainnya. Namun selang beberapa waktu (bisa jadi hitungan tahun) kok lucu, di sana-sini nggak nyambung. Saat tahu kondisi tersebut, inilah kesempatan untuk memperbaikinya.
Ketiga, bandingkan dengan tulisan-tulisan lain yang dimuat. Selera redaktur sangat menentukan. Dengan segala keobyektifan dan kesubyektifan menjadi kata kunci. Karenanya, mempelajari tulisan yang dimuat itu penting. Koran, tabloid atau majalah masing-masing punya karakter tersendiri. Bila tulisan yang kita kirim sama “nafasnya”, besar peluang untuk diterima.

Keempat, melengkapi sumber tulisan. Menambah banyak warna pasti makin meriah. Sangatlah penting untuk membaca, mencatat, atau memiliki ensiklopedi, info terkini, dan bahan-bahan (buku) rujukan yang biasanya dijadikan sumber utama (standar).

Simak tulisan Jalaluddin Rakhmat. Kiai yang pakar komunikasi itu jika membuat tulisan kaya dengan berbagai tinjauan. Misal, ia menulis tentang “istiqomah”, tapi tidak sebatas menggunakan dalil naqli (Al-Qur’an, As-Sunnah) saja. Beliau mengurai dengan pendekatan sejarah, psikologi, logika, budaya dan data-data teranyar.

Sangatlah penting untuk membaca, mencatat atau memiliki ensiklopedia, internet, media massa terbitan baru, info terkini dan bahan-bahan (buku) rujukan yang biasa dijadikan sumber utama (standar).

Kelima, membebaskan tulisan dari teori baku. Memang penulis pemula sangat meniru gaya idola penulis pujaanya. Kata Aristoteles, meniru adalah awal dari sebuah seni.

Pada urutan kelima ini bukan berarti meniadakan teori-teori yang sudah ada. Teori menulis yang sudah dipelajari tetap kita pertahankan. Cuma jangan terpaku. Masih ada teori atau gaya lain. di luar negeri terdapat teori bernama teori lingkaran. Belakangan antara lain dikenalkan oleh DR. Dedi Supriadi. Untuk menuju ke titik tengah lingkaran, kita boleh memasukinya dari garis mana saja. Sederhananya, banyak cara untuk menulis. Keterkaitan dengan unsur emosi ini bisa membuat tulisan lebih segar dan renyah. Contoh, biasanya dari umum ke khusus, kita dapat memulai dari khusus ke umum.

Keenam, rutin menulis lagi. Sudah menjadi alasan klasik untuk menyembunyikan diri dari ketidakberdayaan dalam olah tulis menulis. “Waktu saya tersita, besoklah saya akan memulai”, betapa sering kita mendengar kata-kata itu. Padahal mulanya menggebu-gebu sesemangat 45.

Para penulis sukses di tengah kesibukannya menyediakan waktu khusus unutk menulis. Ada yang sehari menulis 3 – 4 jam sehari.Yus R. Ismail mengagumi rekannya seorang cerpenis belia aktivis Forum Lingkar Pena (FLP). Ia menulis setiap dini hari usai shalat malam sampai menjelang waktu shubuh. Hasilnya menakjubkan, kawan kita ini (masih SMU) sudah menulis empat buku.

Ketujuh, adakah silaturahmi dengan para penulis yang jadi atau milih profesi menulis sebagai pilihan mencari nafkah.

Langkah ini sangat membantu. Banyak yang menyangka orang tenar sulit dihubungi. Benar, tapi bukan berarti tidak bisa sama sekali. Pasti ada dan menerima kesempatan unuk kita. Kita mendapatkan berbagai pengalaman dan ilmu yang menguatkan “ruh” semangat kepenulisan.

Saya pernah mengunjungi tempat aktivitas dan bertemu dengan sosok penulis bergengsi negeri ini, antara lain: Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, Gola Gong, Amin Rais, Kuntowijoyo dan sejumlah penullis kawakan yang berdomisili di Bandung. Alhamdullillah, dari beliau-beliau saya memperoleh tambahan tenaga berlipat-lipat. Meski ratusan naskah saya ditolak, saya bersyukur semangat dan kreativitas tulis menulis masih terpelihara. Lumayan, sudah belasan media yang mempublikasikan. Dan teramat yakin bilangan angka terus menanjak.

Tidak ada alasan untuk berhenti menulis. Cuma karena belum dimuat. Menulis kembali dan kembalilah menulis. Penolakan naskah itu persyaratan wajib bagi siapa saja yang ingin sukses menulis. Selamat menulis.
By Lilis Nihwan

Read more...

  © Blogger template Brownium by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP