7 Alasan Kenapa Sebuah Naskah Ditolak?
Selasa, 13 Oktober 2009
Siapa sih yang tidak sedih jika tulisan yang kita kirim ke media tak kunjung dimuat. Padahal seluruh kemampuan telah kita upayakan seoptimal mungkin. Biaya telah banyak keluar untuk perangko, kertas, ongkos angkot dan tidak sedikit waktu yang kita gunakan untuk menulis.
Manusiawi kalau sedih dan kecewa, tapi justru karena kita sebagai manusia mesti secepatnya kembali ke titik kesadaran dan tidak memanjakan kepusingan lama-lama bertengger di otak kepala. Bila pasrah total ketika sejumlah tulisan belum juga nongol di majalah, tabloid atau koran, KO-lah riwayat kita di dunia kepenulisan. Memang dalam hal tulis menulis, karang mengarang bisa dihitung dengan beberapa jari penulis yang brilian dan ‘mujur’. Maksudnya, orang-orang yang begitu ngirim tulisan langsung dimuat. Sebut saja misalnya Gola Gong, Ali Muakhir dan si kecil Pipit Musawwa.
Rasanya tidak berlebihan saya menyebut mereka itu para penulis yang diberi anugerah khusus oleh Allah SWT. Kenapa? Paling tidak mereka sudah menulis dalam katagori usia dini. Selebihnya saya, Anda, dan pembaca sekalian harus bekerja jauh lebih keras dan berlipat lagi supaya dimuat. Insya Allah bisa.
Kita akan coba mengurai seputar naskah yang ditolak sambil mencari alternatif untuk menyiasatinya (membijakinya) agar tulisan lebih bagus dan kembali kita kirim ke media massa.
7 (Tujuh) Alasan Mengapa Naskah Ditolak
Pertama, naskah ketinggalan zaman dari segi sisi, alias tidak aktual. Redaktur sangat berselera pada hal-hal yang sifatnya baru, bahkan yang bernilai rekayasa. Bukan masalah basi.
Kedua, momenya tidak sesuai atau tepat. Mengirim tulisan ke media tentang keutamaan Rhamdhan, sedang waktu mengirim pada bulan Shafar.
Ketiga, penyajian berbelit-belit. Saharusnya sistematis. Memiliki pemaparan yang menganut dan mengandung kebertahapan. Tidak loncat sana, loncat sini.
Keempat, Tidak memakai tata bahasa yang berlaku. Kata lainnya belum selaras dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Meski bukan satu-satunya faktor.
Kelima, kalah bersaing dengan penulis lain yang lebih kompeten. Bisa jadi penulis yang sudah punya nama. Walau bukan jaminan orang tenar setingkat menteri tulisannya layak muat.
Keenam, jumlah halaman kebanyakan atau malah kurang. Misal, untuk rubrik “Cerpen” hanya menerima 5-6 halaman. Tetapi kita mengirim 8-10 atau 2-3 halaman. Jelas bikin bingung.
Ketujuh, dualisme judul. Kita membuat tulisan berjudul “Perang di Afganistan”, pada saat yang sama pantas juga dijuduli “ Perang di Palestina”. Judul demikian tidak mencerminkan isi.
By Lilis Nihwan
0 komentar:
Posting Komentar