Menulis Adalah Bakat?
Selasa, 13 Oktober 2009
Sering dijumpai pada kalangan para da’i, yang ingin terjun ke dunia tulis, perasaan sulit untuk memulai menulis. Katanya, mereka telah beberapa kali mencoba menulis, namun hasilnya tak pernah jadi. Sebagian yang lain, pernah mencoba dengan segenap kemampuan, dan setelah beberapa kali gagal, akhirnya jadi juga. Namun ketika dikirimkan ke media massa, ditunggu-tunggu tidak kunjung nampak di koran. Sampai kemudian ada kesimpulan, setelah tulisannya dikembalikan, ternyata tidak dimuat.
Alhasil, tidak sedikit diantara penulis pemula yang merasa kesulitan memasuki dunia tulis. Padahal jika disadari, sebenarnya hampir setiap orang telah terbiasa menulis. Sejak masa sekolah dasar hingga masa perkembangan seterusnya. Menulis ketika mencatat dan mengerjakan pekerjaan rumah, tugas-tugas, serta berkirim surat. Dengan demikian, pada dasarnya setiap orang, telah memiliki keterampilan menulis. Oleh karena itu, semua orang yang bisa menulis telah memiliki potensi menjadi penulis. Hanya potensi itu memang perlu dikembangkan. Ketika sangat lancar menulis untuk catatan-catatan, kita juga mahir menulis untuk diary perjalanan hidup kita, semua itu memang baru kreativitas dan produktivitas menulis yang sajiannya diperuntukan bagi kalangan sangat terbatas. Penulisan dari dan catatan, untuk dibaca sendiri. Pekerjaan rumah dan tugas-tugas untuk dibaca guru atau dosen. Sementara surat-surat juga dibaca hanya untuk orang yang kita kirim.
Lalu saat kita mencoba menulis untuk media massa, keterampilan menulis yang dimiliki itu terasa bedanya. Ketika misalnya, kita kirim tulisan dengan gaya menulis surat, atau gaya mengerjakan tugas, ternyata tidak langsung dimuat.
Karena pengalaman demikian tidak jarang kemudian yang mengeluh,“Betapa sulitnya menulis”. Kemudian muncul pertanyaan, “Apakah menulis itu hanya untuk orang-orang yang berbakat?”.
Menjawab permasalahan tersebut, Abdul Hadi WM, menjelaskan bahwa untuk kemahiran menulis bakat sebenarnya hanya mempengaruhi 5%, keberuntungan 5%, sedangkan sisanya yang terbesar (90%) tergantung kepada kesungguhan dan kerja keras. Sehingga tidak mengherankan jika Wilson Nadeak mengatakan bahwa kemahiran menulis itu hanya bagi yang membiasakan diri.
Hal demikian cukup masuk akal, sebab jika ditanyakan tentang bakat, sebenarnya setiap orang yang telah bisa menulis pun pada dasarnya telah memiliki bakat. Hanya tinggal mengembangkan, dari tulisan yang biasanya hanya untuk dibaca sendiri atau dibaca dosen, kepada tulisan yang bisa, enak, penting dibaca oleh umum.
Dengan demikian, kesungguhan dan kerja keras yang dibutuhkan sebagaimana kata Wilson tadi, terkonsentrasi kepada, bagaimana kita menyiasati perubahan gaya menulis untuk konsumsi pribadi atau konsumsi kalangan terbatas, kepada konsumsi untuk dibaca umum. Hanya itulah sebenarnya titik berangkat persoalan kita. Tidak terlalu banyak.By Aef Kusnawan
0 komentar:
Posting Komentar