Faktor-faktor yang Menggairahkan Menulis (2)

Selasa, 13 Oktober 2009

2. Bagian dari Proses Menyembuhkan
Inilah pengakuan Hernowo, penulis “Mengikat Makna” dan “Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza”, yang banyak mendapat tempat di hati pembaca itu. “Menulis bagi saya tidak sekadar berhubungan dengan tinta dan kertas. Menulis adalah proses ‘menjadi’ dan ‘berkembang’. Lewat menulislah kadang saya mampu memecahkan beberapa persoalan yang ‘menekan diri saya’. Simak lagi pernyataannya, “menulis bagi saya, merupakan kegiatan yang ‘ringan’. Ini lantaran menulis saya persepsikan sebagai kegiatan yang menyembuhkan.”

Usai membaca ungkapan tersebut, saya segera ingat bahwa, manusia yang paling gampang ruwed, capek, bosan dan cepat jenuh. Apa lagi bila melihat hal-hal yang dianggap aneh. Manusia cenderung tidak mampu menyimpan apa-apa yang dialaminya. Sudah menjadi sifat manusia ingin segera menumpahkan yang dirasakannya itu.
Memori saya pun tertuju pada sebuah cerita, yang ditulis oleh KH. Abdurrahman Arrosi tentang raja bertanduk dan tukang kayu (Rosda Karya).

Seorang tukang kayu memergoki sang raja. Heran bin heran si tukang kayu, karena kepala sang raja ternyata bertanduk. Begitu pun dengan raja yang waktu itu membuka mahkotanya. Ia segera tahu bahwa, aibnya sudah diketahui seorang rakyatnya. Raja berpesan agar tukang kayu tidak menceritakan kejadian yang baru saja dilihatnya. Tukang kayu berjanji tidak akan pernah cerita kepada siapa pun.

Benar, tukang kayu tidak pernah bercerita.Tetapi ia tidak tahan lebih lama menyimpan keganjilan kepala raja. Akhirnya ia berteriak seorang diri di hutan, “raja kita bertanduk”. Dalam waktu singkat, seluruh penduduk kerajaan tahu, bahwa raja mereka bertanduk. Ternyata, saat tukang kayu berteriak, “raja kita bertanduk”, ada burung beo yang mendengarkan. Lalu burung itu terbang sambil menirukan “raja kita bertanduk”.

Yang ingin saya sampaikan, sudah pasti kita mengalami masalah-masalah berat, yang bisa disepadankan dengan tukang kayu. Meski wilayah peristiwanya berbeda, tapi merupakan bagian dari proses menyembuhkan. Masalah berat menjadi lebih ringan. Sebab, sudah ditumpahkan ke dalam tulisan.

3. Honor
Pertama kali saya terima honor tulisan tahun 1993, dari tabloid Hikmah termuat di rubrik kecil bernama “Mereka Bicara”. Jumlahnya Rp. 7.500. Senang bukan bikinan. Waktu itu masih sekolah di kelas III Madrasah Aliyah Negeri.

Saya tidak perlu malu untuk menyebutkan, bahwa honor tulisan itu menggiurkan. Setidaknya untuk level pemula. Harus kita akui pula, banyak penulis yang tidak begitu mempersoalkan honor. Kelompok ini biasa disebut kaum idealis. Asal ide-ide sudah dibaca orang, cukuplah.

Saya pernah ngobrol dengan mantan seorang Pemimpin Redaksi sebuah majalah lokal di Bandung, ia mengabarkan, dari hasil nulis resensi saja adiknya sanggup menyelesaikan kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Menakjubkan.

Sepanjang tahun 1997-2002 ada beberapa tulisan saya yang dimuat. Honornya mulai Rp. 50.000-Rp. 200.000 per tulisan. Jika dibandingkan dengan honor di luar negeri, pasti honor penulis Indonsia tertinggal sangat jauh. Sewaktu ceramah di Yayasan “Jendela Seni” Pak Wilson Nadeak cerita, dengan hanya satu tulisan dimuat, di Eropa, para penulis bisa membiayai hidup selama sebulan. Selain dibayar mahal, sebuah tulisan dapat dipublikasikan ± sampai sepuluh media lewat biro jasa.

Saya berani memperkirakan, beberapa tahun ke depan honor penulis Indonsia kian membaik. Hal ini ditandai dengan munculnya banyak media massa, yang berarti apresiasi masyarakat terhadap tulisan makin bagus. Logikanya, nilai jual lebih tinggi lagi. Lahan bagi penulis melebar.

4. Shadaqah Ilmu
Budayawan Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) dalam “Tadarrus Budaya”-nya kurang-lebih mengatakan begini, seorang faqih bisa mendekati Allah dengan ibadah legal formalnya. Seorang seniman bisa mendekati Allah dengan karya seninya dan seorang sastrawan bisa mendekati Allah dengan karya sastranya.

Kalau kita panjang-lebar-luas-dalamkan, bisa lebih banyak lagi. Dan saya ingin mengatakan, seorang penulis bisa menularkan ilmunya lewat tulisan. Asal yang kita tulis untuk kemaslahatan.

Shadaqah ilmu lewat media tulis kenapa tidak? Bukankah menyebarkan ilmu sangat diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Meski satu ayat, shadaqah ilmu lewat tulisan sangat strategis dari segi efektivitas dan tabungan pahala untuk meraih ridha-Nya.

Renungngkan! Allah memberikan pahala bagi orang yang memberikan jalan (petunjuk) kebaikan sebagaimana orang yang diberikan petunjuk mengerjakan kebaikan. Semakin banyak ilmu yang kita sebar, maka tambah banyaklah kemanfaatan yang diperoleh pembaca.

5. Sebagai Warisan yang Membanggakan
“Gajah mati meninggalkan gading”. Pepatah usang ini menyampaikan pesan sosial yang sangat berharga. Gajah saja yang hewan menyisakan gading yang dapat dimanfaatkan oleh manusia.

Apa yang sanggup kita wariskan? Tanah, rumah, uang, mobil, tak ada salahnya. Tetapi tidak sedikit warisan yang demikian mengakibatkan permusuhan sesama saudara sekeluarga. Terkadang juga kurang mendidik.

Kondisinya sangat berbeda, jika saja yang kita wariskan adalah ilmu. Warisan dalam tulisan (buku) punya nilai yang sangat membanggakan.

Warisan tersebut dapat membantu anak-cucu dan generasi setelah kita, untuk mempertahankan sejumlah nilai luhur yang telah kita kerjakan, sekaligus sebagai bahan guna menggali potensi yang ada.

6. Menyadari Penuh bahwa Manusia itu Makhluk Penulis
Roesli Lahani Yunus meyakinkan kepada kita dengan sebuah kutipan dari Emerson, perihal manusia sebagai penulis. “Manusia pada hakikatnya adalah penulis. Apa yang ia lihat atau alami, ia jadikan pola. Ia percaya, apa yang dapat dipikir, akan dapat pula ditulis, lambat atau cepat. Dalam tiap pembicaraan, dalam tiap bencana, dalam tiap peristiwa, dalam tiap perjalanan, ia dapatkan bahan baru untuk tulisannya atau karangannya.”
Sealinea keyakinan di atas, kiranya dapatlah mengusir keragu-raguan para penulis pemula, yang biasanya bertanya semacam ini, “mampukah saya menulis?”

Bertolak dari potensi yang dimiliki manusia itu berbeda, baik perasaan, temuan, kehobian, penyikapan mengenai sesuatu, sekiranya diolah, maka menjadi tulisan yang beragam. Satu masalah yang muncul, cara penyelesaiannya dengan beberapa alternatif. Solusi alternatif yang kita miliki, merupakan bahasan tulisan yang bermutu tinggi karena memiliki keunikan tersendiri.

Kata lainnya, menulislah dari apa yang kita rasakan, harapkan dan renungkan. Bukan dari sesuatu yang berada di luar diri kita. Dari titik ini pulalah penulis produktif semisal Hernowo dan Abu Al-Ghifari lancar menulis. Setelah memulai dari diri sendiri, barulah mereka mencari data-data pelengkap agar tulisannya menjadi lebih bertenaga sekaligus dipercaya pembaca. Dan pada proses lebih lanjut, seorang penulis akan berkata, “menulis itu sebenarnya indah.”

7. Setiap Gaya Tulisan Ada Penggemarnya
Pembaca budiman, saya mengajak Anda untuk sedikit bermimpi. Tidak banyak. Andai sejudul tulisan kita sudah selesaikan. Andai sebuah naskah untuk ukuran buku telah kita rampungkan. Masihkah kita menyisakan pertanyaan semodel “apakah tulisan bikinan saya laku di pasaran?”

Ibarat makanan, punya pengemarnya masing-masing. Yang satu hobinya pecel lele, lainnya nasi goreng, sementara di tempat yang berbeda kita temukan penikmat nasi liwet lengkap dengan sambal dan ikan asinnya.
Betapa pun demikian kuat pengaruh penulis yang kita kagumi, mewarnai gaya tulisan kita, saya setuju dengan Mohamad Fauzil Adhim, penulis buku bernuasna “pernikahan” bahwa, selekasnya kita menemukan gaya tulisan sendiri. Insya Allah, gaya tulisan yang kita peragakan ada juga yang mengambil manfaatnya, alias Suka.

By Lilis Nihwan

1 komentar:

Karyadi 14 Oktober 2009 pukul 03.27  

pencerahan bagi penulis pemula ....

Posting Komentar

  © Blogger template Brownium by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP