Bocah Cilik di Jalan Buku
Rabu, 14 Oktober 2009
Sekarang ini aku sering berpikir, usaha apa ya yang bisa dikerjakan anak 9 tahun? Aku menulis, tapi buku-ku belum banyak. Aku sering diundang isi acara. Tapi kebanyakan untuk orang tidak punya. Jadi aku gratiskan.
Nah bagusnya aku usaha. Aku ingin bisa membantu teman-teman kecilku yang miskin. Aku baca di negeri ini sudah ada yang meninggal kelaparan...
Usaha apa yang bisa dilakukan anak usia 9 tahun?
Sebenarnya aku ada ide juga. Aku mau jualan roti! Aku sudah dapat namanya: Bread Gila! (maksudnya enaknya gila banget gitu loh!). Pokoknya rasa rotinya berbeda deh dari yang sudah ada. Aku bisa jualan di rumah dan di sekolah. Hmmm ini memang usaha kecil. Uangnya mungkin sedikit. Tapi kalau banyak yang beli, siapa tahu nanti aku bisa punya pabrik roti ya? Terus bisa selalu membantu anak tak punya..." (sebuah posting berjudul "Usaha Apa yang Bisa Dilakukan Anak Usia 9 Tahun" di blog Taman Hati Abdurahman Faiz (masfaiz.multiply.com)
Abdurahman Faiz adalah sebuah anomali. Serupa kalimat yang ditulis TS Elliot dalam satu puisinya, "dia adalah titik diam di dunia yang tidak berhenti bergerak." Titik yang menarik perhatian. Di usia 8 tahun ia sudah menelurkan buku kumpulan puisi berjudul Untuk Bunda dan Dunia (DAR Mizan, Januari 2004) dengan kata pengantar dari Taufik Ismail. Buku tersebut meraih Anugerah Pena 2005 serta Buku Terpuji Adikarya IKAPI 2005.
Buku keduanya terbit di tahun yang sama dengan buku pertama. Guru Matahari, juga diterbitkan DAR Mizan, bahkan masuk dalam daftar nomine Khatulistiwa Literary Award 2005. Setelah itu berturut-turut Aku Ini Puisi Cinta, kumpulan esai Permen-Permen Cinta Untukmu, dan yang terbaru Nadya: Kisah dari Negeri yang Menggigil yang diterbitkan Lingkar Pena Publishing House, Juli 2007.
Keajaiban yang dimiliki Faiz -kalau menerbitkan buku di usia 8 tahun bisa disebut ajaib-- itu tidak lepas dari kerja keras ayah dan ibunya, pasangan wartawan Tomi Satryatomo dan cerpenis Helvy Tiana Rosa. Helvy, yang dikenal sebagai penulis muda berbakat, sudah mengamati bakat putra sulungnya yang gemar merajut kata-kata menjadi kalimat indah sejak dini.
Di usia tiga tahun, ia misalnya sudah bisa melontarkan kalimat puitis,"Bunda, aku mencintai Bunda seperti aku mencintai surga." Faiz juga punya rasa ingin tahu yang sangat besar, yang memndorongnya untuk mengetahui hal-hal yang baru.
Sejak bisa membaca dan menulis di usia 5 tahun, kemampuan Faiz merangkai kata mengalir deras. "Kalimat yang dipilihnya sangat puitis dan mengharukan, tapi tidak cengeng," kata sang ibu, yang dikenal sebagai sosok di balik kesuksesan komunitas penulis Forum Lingkar Pena.
Sadar anaknya lihai meronce kata, Helvy menawari Faiz untuk ikut beragam perlombaan menulis. Faiz memenangi banyak di antaranya. Titik awal menuju dunia menulis adalah ketika siswa SDIF Al Fikri Depok ini meraih Juara I pada Lomba Menulis Surat untuk Presiden tingkat nasional yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta pada 2003. Saat itu ia baru duduk di kelas I SD. Ketika duduk di kelas II SD, ia juga menjuarai Lomba Cipta Puisi Tingkat SD seluruh Indonesia yang diadakan Pusat Bahasa Depdiknas pada 2004.
Kehebatan Faiz ini terendus juga akhirnya oleh penerbit Mizan. Divisi Anak dan Remaja yang saat itu tengah gencar-gencarnya mencari naskah lokal kemudian meminang puisi-puisi Faiz. Terbitlah kemudian kumpulan puisi Untuk Bunda dan Dunia pada 2004 di bawah bendera seri Kecil-Kecil Punya Karya.
Menurut Dadan Ramadhan, Editor Anak dan Penanggung Jawab buku Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK) DAR Mizan, penerbitan buku karya anak-anak ini diawali renungan bahwa selama ini belum ada buku karya anak.
Sebelum Faiz, seorang bocah lain sebenarnya sudah lebih dulu berkibar di bawah bendera KKPK. Sri Izzati namanya. Novelnya berjudul Kado Buat Ummi diluncurkan pada 2003 saat ia baru berusia 8 tahun. Gadis kecil kelahiran Bandung, 18 April 1995, ini sudah mulai menulis buku sejak kelas II SD. Izzati bahkan sudah meluncurkan novel keduanya yang berjudul Powerful Girls.
Respon pasar terhadap seri Kecil-Kecil Punya Karya ternyata cukup bagus. Terbukti dari membanjirnya pengunjung cilik dan para orangtua pada setiap peluncuran buku. Faiz dan Izzati kemudian menjadi sosok idola baru di tengah keringnya ladang buku anak lokal.
Sejak itulah bermunculan penulis-penulis cilik lain yang menelurkan buku mereka. Ada Qurota Aini, bocah yang di usia 7 tahun menerbitkan buku Nasi untuk Kakek. Buku Aini kemudian meraih penghargaan Museum Rekor Indonesia sebagai penulis termuda. Buku keduanya Asyiknya Outbond terbit setahun setelah itu.
Berturut-turut setelah itu, DAR Mizan mengeluarkan sederet buku di bawah bendera seri ini. Putri Salsa, anak penulis best-seller Asma Nadia -yang tidak lain adik kandung Helvy-- ikut digaet DAR Mizan. Bukunya My Candy berjejer bersama karya sejumlah penulis cilik lainnya. Di dalam daftar itu, ada pula Beautiful Days karya Bella, 6, putri penulis dan pendiri komunitas budaya Rumah Dunia, Gola Gong.
Menurut Pangestuningsih dari Mizan, buku-buku yang bernaung di bawah bendera KKPK ini terbukti mampu mendongkrak penjualan buku anak. Buku karya Bella, yang terbit tahun silam, berhasil terjual hingga 15.000 kopi. Tidak heran jika CEO Mizan Haidar Bagir berseloroh, jika dulu penulis yang harus berterima kasih dan berutang budi karena naskahnya bersedia diterbitkan, kini penerbitlah yang harus bersyukur karena bisa menerbitkan buku penulis-penulis cilik sukses ini.
Sukses Mizan menerbitkan karya bocah cilik ini membuat para penerbit lainnya menitikkan air liur. Forum Lingkar Pena, misalnya, kini menerbitkan kumpulan puisi terbaru Faiz, Nadya: Kisah Dari Negeri yang Menggigil, tahun silam.
Apa kelebihan para bocah cilik ini sehingga mereka mampu menelurkan buku di usia yang demikian belia? Riris T. Sarumpaet, profesor di bidang sastra anak mengatakan karya Faiz dan teman-teman lainnya sarat dengan kesederhanaan, polos, dan jernih saat memotret persoalan di sekitarnya. Cara memandang persoalan, terutama tentang anak-anak miskin dan menderita, jauh dari klise dan sangat metaforis. Mereka mampu menggambarkan apa yang dirasakan anak seusianya, tanpa harus sok dewasa atau menggurui. Mungkin itu yang menjadi daya tarik bocah-bocah kecil ini untuk membaca buku karya anak seumur mereka.
Kepiawaian anak-anak dalam bertutur ini pula yang dipuji Hilman Hariwijaya, penulis serial remaja Lupus, yang meroket pada era 1980-an. "Aku yang dulu bangga sudah nulis sejak SMP, jadi nggak ada apa-apanya dibanding Caca," katanya memuji Putri Salsa.
oktamandjaya wiguna/reza m/angela
0 komentar:
Posting Komentar